Liputan6.com, Jakarta - PT EK Prima Ekspor Indonesia mengklaim tak memiliki persoalan pajak seperti yang diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini dibuktikan dengan keberanian PT EK Prima Ekspor Indonesia mengajukan restitusi pajak garmen sebesar Rp 3,5 miliar.
Restitusi adalah pembayaran kembali pajak yang telah dibayar oleh wajib pajak.
Advertisement
Hal tersebut disampaikan oleh Samsul Huda, kuasa hukum Country Director PT EK Prima, Ramapanicker (Rajesh) Rajamohanan Nair yang menjadi terdakwa perkara suap kepada pejabat Ditjen Pajak, Handang Soekarno.
"PT EKP (EK Prima) sebenarnya tidak ada permasalahan pajak sama sekali. Timbul masalah ketika EKP mengajukan restitusi pajak garmen sebesar Rp 3,5 miliar. Perusahaan yang berani mengajukan restitusi berarti perusahaan yang kredibel pajaknya," ujar Samsul Huda, di Jakarta, Rabu (1/3/2017).
Menurut dia, hanya perusahaan yang kredibel yang berani mengajukan restitusi pajak. Samsul menjelaskan, permasalahan ini justru muncul usai mengajukan restitusi pajak.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tim pemeriksa yang diterjunkan menyatakan permohonan restitusi pajak PT EK Prima dapat disetujui. Meskipun ada konversi pajak kurang bayar sebesar Rp 600 juta.
"Berdasar SPHP LHP 8 Agustus 2016, tim pemeriksa disetujui Rp 2,8 miliar. Namun setelah SPHP LHP disetujui dan dikirimkan ke EKP untuk mendapatkan tanggapan tiba-tiba, Kepala KPP PMA (Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing) VI Kalibata menganulir sendiri keputusannya dan berdalih tidak dapat meyakini transaksi EKP dan menduga ada ekspor fiktif," Samsul menjelaskan.
Kepala KPP PMA VI Kalibata Jhonny Sirait, menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) PPN Ekspor Kacang Mete terhadap PT EKP sebesar Rp 78 miliar. Padahal, Samsul Huda meyakini dugaan ekspor fiktif dan STP PPN tersebut hanya asumsi Johnny tanpa adanya cek dan ricek maupun pemeriksaan terlebih dahulu.
"Surat tagihan pajak ini tidak berdasar fakta dan aturan yang benar. Hanya berdasar asumsi atau dugaan Kepala KPP PMA VI Kalibata, saudara Johnny Sirait, bukan atas hasil temuan tim pemeriksa," kata Samsul.
Menurut dia, persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 27 Februari 2017 membuktikan keputusan Johnny Sirait menerbitkan STP PPN terhadap PT EK Prima, bermaksud memenuhi target pajak. Oleh karena itu, dia menuding pihak KPP PMA memaksakan STP PPN Rp 78 miliar PT EK Prima dimasukkan dalam tax amnesty.
"Ini yang menyebabkan PT EK Prima keberatan," tuding Samsul.
Namun, keberatan pajak PT EK Prima itu tak ditanggapi KPP PMA VI. Alih-alih menanggapi keberatan tersebut, KPP PMA Enam justru mencabut status perusahaan kena pajak (PKP) PT EK Prima.
"Dan dipaksakan usulan Bukti Permulaan tanpa didahului proses IDLP yang benar," Samsul menjelaskan.
Dia menilai, dugaan ekspor fiktif dan penyalahgunaan KLU yang disebut Johnny kepada PT EK Prima sudah terbantahkan di persidangan. Jika dugaan ekspor fiktif tersebut benar, PT EK Prima siap dan bahkan meminta untuk dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
"Termasuk terhadap semua transaksi, faktur pajak, maupun PEB ekspor barang di Bea Cukai," kata Samsul.
Samsul menambahkan, PT EK Prima menolak STP dan meminta pembatalan pencabutan status PKP karena merasa diperlakukan tidak adil oleh KPP PMA VI. Untuk itu, PT EK Prima mengajukan keberatan kepada Kanwil dan Ditjen Pajak dengan tembusan Menteri Keuangan.
"Keberatan akhirnya dikabulkan oleh Kanwil Pajak karena memang STP PPN yang diterbitkan KPP PMA IV Kalibata atas transaksi komoditas kacang mete, dari penjual non PKP tidak boleh dikenakan PPN, juga dikabulkan Pembatalan Pencabutan status PKP EKP," ujar Samsul.
Dengan dikabulkannya keberatan ini, Samsul menyatakan, PT EK Prima taat terhadap aturan pajak dan bersih dari segala persoalan pajak. Meski demikian, Samsul tak menampik adanya pemberian uang dari kliennya kepada Handang Soekarno.
"Jadi PT EKP sangat taat aturan pajak dan clear secara perpajakan. Bahwa dalam kasus ini memang ada pemberian sejumlah uang ke Handang Soekarno memang benar," ucap Samsul.
Pada kasus suap pengamanan wajib pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia ini, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni Kepala Subdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Handang Soekarno, dan Presiden Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia Rajesh Rajamohanan Nair.
Handang diduga menerima suap US$ 148.500 atau setara Rp 1,9 miliar dari Rajesh pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) November 2016.
Uang suap tersebut dimaksud untuk menghapus kewajiban pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp 78 miliar. Uang Rp 1,9 miliar itu merupakan pemberian pertama dari total keseluruhan Rp 6 miliar yang telah disepakati keduanya.