Cerita Mantan Pasukan Komarudin tentang Kesaktian Sang Komandan

Letnan Komarudin terkenal sebagai prajurit yang berani, kebal senjata, dan agak ugal-ugalan.

oleh Harun Mahbub diperbarui 02 Mar 2017, 08:00 WIB
Ilustrasi Komarudin dalam Janur Kuning

Liputan6.com, Jakarta Banyak nama besar di balik Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, selain para pemimpin, serangan mengejutkan itu juga memunculkan sosok lain yang menarik: Letnan Komarudin.

Komarudin adalah sosok legendaris dari kalangan prajurit. Ia komandan peleton di SWK 101, Brigade X, pimpinan Mayor Sardjono. Nama Komarudin lekat dengan citra keberanian, kesaktian, juga ugal-ugalan.

Citra Komarudin itu terekam salah satunya dalam Janur Kuning, film sejarah yang mengusung kisah Serangan Umum 1 Maret. Ada satu fragmen yang melekat di benak para penontonnya. Komarudin silap tanggal dan mulai melancarkan serangan bersama pasukannya pada 28 Februari 1949, sehari lebih cepat.

Oleh sultan, Komarudin diminta menarik serangan. Sang letnan mengajak pasukannya mundur, sambil membentengi anak buahnya dari terjangan peluru pasukan Belanda, dengan badannya. Sepotong fragmen dalam film itu bisa fiksi bisa nyata, namun dari kesaksian mantan anggota pasukannya, sang komandan memang punya kelebihan.

Risa Umami (37), karyawan swasta di Semarang kelahiran Bantul, Yogyakarta, mengaku sejak kecil kerap mendengar cerita ikhwal kesaktian Komarudin. Penuturnya adalah Cipto, biasa dipanggil Mbah Cipto, tetangga Risa.

"Tiap kali kami main ke rumahnya, beliau dengan penuh semangat dan berapi-api cerita tentang kehebatan Pak Komar," kata Risa kepada Liputan6.com, Rabu 1 Maret 2017.

Dari dongeng masa kecil itu, ada satu cerita yang masih membekas di benak Risma hingga kini. Alkisah, Mbah Cipto pernah disergap pasukan Belanda di daerah Madukismo, Bantul. Kala itu Cipto hanya berdua dengan Komarudin, berteduh di bawah pohon pisang.

Belasan tentara Belanda mengepung sambil menodongkan senjata. Mbah Cipto menegang, namun Letnan Komarudin tenang-tenang saja. Komarudin berpesan agar Mbah Cipto jangan jauh-jauh darinya. Selanjutnya kontak senjata tak terhindarkan,tentu  tak seimbang. Bagaimana akhirnya?

Tak ada peluru mengenai bahkan menyerempet Mbah Cipto dan sang komandan. Keduanya melenggang pergi dengan selamat tanpa luka tergores di badan, meninggalkan belasan tentara Belanda yang terkapar.

Komaruddin yang kebal peluru dan pemberani, menangis saat dinasehati Jendral Sudirman. (foto : Liputan6.com /arsipindonesia.com

Ada lagi cerita lain dari Mbah Cipto tentang keajaiban Komarudin. Mbah Cipto pernah dalam kondisi terjepit dan hanya bisa pasrah. Dia dan beberapa anggota pasukan terjebak dalam pertempuran tak seimbang di daerah Pojok Beteng (Jokteng) Yogyakarta.

"Mbah Cipto sudah pasrah karena menurutnya sudah tak mungkin keluar hidup-hidup dari situ," kata Risa mengulang cerita Mbah Cipto.

Namun, keajaiban itu datang berupa kemunculan Komarudin. Entah dari mana, Komarudin tiba-tiba ada di belakang pasukannya yang terjepit itu.

Komarudin menggamit Mbah Cipto dan teman-temannya, meminta mereka mengikutinya dengan syarat harus gocekan (berpegangan) Komarudin, minimal bajunya. Ajaib, mereka pun bisa lolos melewati pasukan Belanda, seolah-olah mereka tak terlihat.

"Begitu cerita-cerita yang membekas, benar tidaknya wallahu a'lam (hanya Tuhan yang tahu)," kata Risa. "Tapi kisah - kisah itu cukup membuat kami, anak-anak kecil waktu itu, terbakar oleh gelora perjuangan dan nasionalisme."

Terutama di daerah Yogyakarta, nama Komarudin memang melegenda. Setelah meninggal, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta. Sejatinya Komarudin tak sepenuhnya mati. Keberanian dan semangat perjuangannya terus menjadi inspirasi.


Serangan yang Mengejutkan

Seorang pejuang kemerdekaan mengibarkan bendera merah putih setelah berhasil menduduki kota pada teatrikal serangan umum 1 maret 1949 di benteng Vredeburg, Yogyakarta, (6/3). (Boy Harjanto)

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan besar-besaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rakyat ke kota Yogyakarta, ibu kota RI kala itu, yang diduduki Belanda. Saat itu Belanda gencar melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.

Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan propaganda Belanda. Setelah melalui proses diskusi dengan segenap jajaran TNI dan para pejuang lainnya, muncul ide Serangan Oemoem 1 Maret.

Dengan persiapan yang matang, puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, Letnan Kolonel Suharto, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pagi hari sekitar pukul 06.00, sirene berbunyi. Serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Tentara dan rakyat mengikatkan janur kuning -daun kelapa muda- sebagai tanda.

Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dipimpin Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan.

TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama enam jam. Tepat pukul 12.00 siang, seluruh pasukkan TNI mundur. Pendudukan selama enam jam yang sangat berarti.

Serangan Umum 1 Maret mematahkan moral pasukan Belanda sekaligus membuktikan pada dunia internasional bahwa Indonesia masih punya kekuatan melawan. Serangan ini memperkuat posisi diplomasi Indonesia di meja perundingan internasional.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya