Liputan6.com, Jakarta - Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan bangsa-bangsa Arab yang hijrah dan menetap di Indonesia. Tidak hanya angkat senjata, tapi juga di bidang pendidikan. Utamanya pendidikan agama.
Melompat ke masa silam, 116 tahun lalu. Di Pekojan, Jakarta Barat, yang kala itu populasi masyarakatnya di dominasi keturunan bangsa Arab. Puluhan orang keturunan Hadramaut yang bermukim di sana berkumpul.
Advertisement
Mereka berdiskusi, saling bercerita tentang keadaan masyarakat saat itu. Belum tercetus perlawanan untuk merdeka. Hanya rasa sedih, melihat banyaknya masyarakat yang dirundung kebodohan dan tak dapat ilmu pengetahuan.
Seorang jurnalis dan penulis di antara keturunan Arab itu gelisah bukan main. Ia tak terima jika masyarakat kala itu masih tak bisa sekolah dan paham tulis baca.
Adalah Sayid Ali bin Ahmad Shahab, keturunan Arab yang lahir si Pekojan, pada 1282 Hijriah. Sebagaimana ibadah haji zaman dahulu, berhaji artinya berjalan jauh selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Deliar Noer dalam bukunya soal Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 mencatat bahwa Ahmad Shahab yang bekerja sebagai koresponden Al-Muayyad di Kairo, Mesir dan koresponden Samarat al-Funun Mesir itu melakukan ibadah haji dengan menyambangi berbagai daerah.
Pemuda 29 tahun itu pernah singgah di Turki dan Mesir sebelum melakukan ibadah haji. Di kedua wilayah itu, ia melihat sistem pendidikan di Kesultanan Ottoman.
Di Turki, orang-orang bersekolah dengan cara duduk di bangku dan mereka memakai celana. Ia malu dan sedih lantaran di kampung halamannya orang belajar agama dengan cara duduk di lantai dan masih memakai kain.
"Sepulang dari haji, beliau mengumpulkan para guru agama, dan saudagar kaya di Pekojan. Dia ingin pelajaran agama tak lagi hanya diajarkan dari anak ke orang tua, tapi sudah saatnya ada majelis ilmu, dan di Pekojan itulah mulanya," kata Pengurus Harian Jamiatul Kheir, Saugi Algadri, pada Liputan6.com, di Tanah Abang, Jakarta, Rabu (1/3/2017) sore.
Majelis ilmu yang cuma diisi masyarakat dengan usia lanjut membuat Ahmad Shahab tak puas. Perkumpulan orang-orang keturunan Arab itu pun semakin banyak anggotanya. Ahmad Shahab mengajukan agar mereka tak hanya lagi sebagai perkumpulan biasa yang diisi ulama dan pedagang saja.
Perkumpulan majelis ilmu itu, juga berpindah dari Pekojan ke Tanah Abang. Di Pekojan, menurut keterangan dan catatan sejarah, hanya ada masjid dan beberapa rumah milik saudagar Arab yang dijadikan tempat berkumpul dan mendengar ceramah agama. Di Tanah Abang pusat pergerakan perkumpulan ini, mereka pindah ke Tanah Abang pada tahun 1901.
"Saat itulah lahirnya Jamiatul Kheir ini, beliau mengajukan surat izin ke pemerintah kolonial untuk mendirikan perkumpulan," ujar Saugi.
Saat izin diurus, kegiatan Jamiatul Kheir semakin banyak. Tak lagi hanya sebagai perkumpulan yang membahas agama, mereka sudah mulai melakukan kegiatan pendidikan diam-diam.
"Ditunggu satu tahun masih belum keluar izinnya. Barulah di tahun 1905 pemerintah kolonial Belanda mau mengeluarkan izin, tapi dengan syarat enggak boleh buka cabang dan hanya di Batavia saja," ucap Saugi.
Untuk memuluskan cita-cita perkumpulan ini, mereka mengelabui penjajah dengan menerangkan bahwa perkumpulan ini hanyalah perkumpulan untuk menolong orang miskin.
Dalam arsip milik ANRI, yakni arsip Ag. 13240 nomor 18/8-24363/03 anggaran dasar 15 Agustus 1903 mencantumkan permohonan Jamiatul Kheir. Berikut petikan redaksional terkait keluarnya izin perkumpulan Jamiatul Khair.
"Perkoempoelan jang dinamaken Djmaeat Geir goenanja aken menoeloeng hal orang jang miskin, djika ija ada kematjian dan tida mampoe tanam majitnya. Malahan baek boewat negri, karena beberapa banjak orang miskin aken mendapet pertoeloengan dari ini perkoempoelan," tulis arsip itu.
Maka, pada tahun 1905 itu, Belanda memberikan izin berdirinya Jamiatul Kheir, pada 17 Juli 1905 Sayid Ali bin Ahmad Shahab menjadi ketua umumnya.
Dengan begitu, dimulailah pendidikan yang dicita-citakan oleh Ahmad Shahab. Sekolah agama pertama yang memakai bangku, kursi, papan tulis dan kapur itu beroperasi. Ahmad juga makin gencar menulis di surat kabar Utusan Hindia.
Waktu berjalan. Jamiatul Kheir terus berkembang. Perlawanan terhadap Belanda pun mulai digalakkan. Perlawanan senyap dilakukan, yaitu dengan memasukkan kurikulum pelajaran bahasa Inggris, bukan bahasa Belanda.
Karena masa itu belum terkoordinasi dengan baik perjuangan melawan Belanda. Jamiatul Kheir mengasah nyali dan strategi perangnya dengan mengirimkan murid mereka ke berbagai negara Arab. Dari menuntut ilmu hingga angkat senjata, para muridnya menimba ilmu agama, ilmu umum, dan ilmu perang.
Tercatat, Jamiatul Kheir mengirimkan puluhan. Bahkan sumber lain menyebut ratusan orang muridnya untuk membantu para pejuang Libya melawan penjajah Italia di bawah pimpinan Omar Mochtar.
Perlawanan dengan Senjata
Organisasi masyarakat ini semakin garang usai mengirimkan para murid untuk belajar dan berperang. Di Indonesia, pada tahun 1907, anggaran dasar itu dirombak. Isi anggaran dasar ditambah dengan frasa, "Untuk mendirikan sekolah-sekolah dan mengatur pengajarannya".
Di catatan lainnya karya Solichin Salam, dalam buku Ali Ahmad Shahab Pejuang yang Terlupakan, disebutkan Ahmad Shahab merupakan aktor belakang dan depan layar dalam melawan kompeni. Tak sekadar mendirikan sekolah dan mendidik masyarakat, ia juga mengimpor senjata untuk perang lawan Belanda.
Dalam buku terbitan Gema Salam tahun 1992 itu tertulis Ahmad Shahab pernah berkoordinasi dengan Sultan Abdul Hamid dari Turki dan Imam Yahya dari Yaman. Dari komunikasi intens mereka, Ahmad Shahab ingin impor senjata.
Berbagai sumber menuliskan senjata itu pernah diimpor, lalu sumber lainnya mengatakan itu hanya sebatas rencana.
Tekanan demi tekanan dilawan Jamiatul Kheir dengan berbagai cara. Selain kurikulum, mereka bahkan menjalankan aksi-aksi spionase. Dengan aturan tak bolehnya membuka cabang di luar Batavia, Jamiatul Kheir memang ikut aturan.
"Memang tak ada yang buka cabang, tapi alumni-alumni Jamiatul Khaer, mendirikan berbagai pesantren dan majlis ilmu di wilayah luar Batavia, tentunya dengan nama yang berbeda," kata Saugi.
Bahkan, menurut Saugi, di dalam arsip Jamiatul Khair tercantum adanya sokongan dana untuk KH Achmad Dahlan. Tujuannya mendirikan organisasi Islam lainnya di luar Batavia.
Mereka dengan cerdik menyuruh KH Ahmad Dahlan ke Yogyakarta. Tak ada embel-embel Jamiatul Kheir, Ahmad Dahlan hanya berniat jalan-jalan dan berdakwah di sana.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda, Jamiatul Kheir yang anggotanya didominasi saudagar kaya keturunan Arab serta sumbangan dari masyarakat sekitar serta luar Batavia, mengirimkan uang pada Ahmad Dahlan.
"Sebelum berangkat itu, Jamiatul Khair memberikan beberapa ratus gulden ke KH Ahmad Dahlan, tujuannya agar Ahmad Dahlan juga mendirikan perkumpulan di Yogyakarta," terang Saugi.
Sayangnya Liputan6.com tidak berkesempatan melihat catatan pemberian uang pada KH Ahmad Dahlan itu, sebab data dan catatan sejarah itu terkunci di ruangan pengurus.
Saugi melanjutkan, uang itulah yang dipakai oleh Ahmad Dahlan untuk mendirikan perkumpulan Muhammadiyah.
Namun, dari buku karangan Aboebakar Atjeh dengan judul Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia yang dikutip oleh Lothrop Stodard dalam buku The New World of Islam menjelaskan soal pendirian Muhammadiyah yang sangat kental dipengaruhi oleh Jamiatul Kheir.
"Perkumpulan yang didirikan setjara diam-diam oleh para pendirinja di Djakarta, 'Djami'at Chair' telah menghasilkan tokoh-tokoh masjarakat pula jang akan djadi pelopor pembangunan di kemudian hari, antara lain KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadijah," begitu tertulis di buku karangan penulis asal Amerika itu.
Sementara, dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia yang ditulis oleh Wasilah Faray Saleh menyatakan dengan jelas bahwa Ahmad Dahlan adalah anggota Jamiatul Kheir.
Melalui diskusi yang alot dengan para pengurus Jamiatul Kheir, perjuangan dilanjutkan. Misi Ahmad Dahlan sangat berbahaya, tapi perjuangan mereka sudah mengorbankan banyak nyawa.
Ahmad Dahlan diutus ke Yogyakarta untuk mendirikan basis perjuangan garis keras yang kelak angkat senjata melawan Belanda di medan perang.
"Organisasi pembaharu Islam Muhammadiyah menjadi pimpinan penyerang dari pihak oposisi Islam," tulis keterangan itu.
Selain Ahmad Dahlan, masih banyak beberapa tokoh lainnya yang juga berasal dari Jamiatul Kheir.
Bahkan, Haji Umar Said Tjokroaminoto adalah anggota dan aktif di Jamiatul Kheir. Uniknya, lulusan Jamiatul Kheir bergerak dalam senyap. Mereka jarang memperlihatkan identitasnya sebagai alumni gerakan pendidikan ini.
Dari catatan Saugi, beberapa alumni bahkan tak mendirikan pesantren ataupun perguruan yang sama. Mereka memilih nama lainnya. Namun, diam-diam mengamalkan apa yang diajarkan Jamaitul Khaer sejak awal didirikan.
"Tujuan perkumpulan ini memang untuk menolong orang tanpa harus disebut-sebut dan jadi tenar. Saya ndak bisa anggap itu sebagai ajaran, tapi itu sudah jadi tradisi kami," ucap Saugi.
Di zaman penjajahan itu, anggota Jamiatul Kheir yang lulus akan berpencar ke berbagai penjuru Nusantara. Mereka biasanya melebur dengan masyarakat, hanya menjadi guru-guru agama. Namun, jauh di bawah tanah, mereka terus berkoordinasi, menggalang kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda.
Di Batavia, gerakan mereka dibatasi. Namun, para murid dan anggota Jamiat Khaer yang menyebar membuat repot Belanda. Setiap wilayah terjadi pemberontakan.
Terlebih tahun-tahun jelang kemerdekaan, sekolah Jamiatul Kheir diliburkan. Mereka berperang, demi kemerdekaan.
Orang-orang keturunan Arab ini, mengorbankan nyawanya demi kata "Merdeka". Perkumpulan yang awalnya untuk menyelenggarakan jenazah orang-orang miskin di Pekojan bergerak dengan pasti. Selain mengimpor ilmu pengetahuan, mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, mereka juga mengimpor senjata, memperkuat semangat serta nyali bertaruh nyawa untuk pendidikan.
"Sampai sekarang lulusan Jamiatul Kheir masih berperan dalam negeri ini. Lulusannya memang hanya ratusan setiap tahun, tapi mereka menempati posisi-posisi staregis di pemerintahan," lanjut Saugi yang meminta nama-nama lulusan Jamiatul Kheir tak dituliskan dengan rinci dalam berita.
Namun, Saugi membeberkan di mana saja para anggota Jamiatul Kheir ini terus berjuang. Di luar negeri, alumni Jamiatul Kheir ada di Mesir, Madinah, Libya, Iraq dan berbagai negara Islam lainnya.
Di Indonesia, mereka masuk dalam pemerintahan. Berada di lingkar terdekat Presiden, mengabdi menjadi staf-staf di kementerian, bekerja di departemen-departemen pemerintah yang menggawangi soal pertahanan, keamanan dan tentunya di departemen agama.
"Kami memang enggak buka cabang, satu-satunya ya cuma di Jakarta, tapi para alumni itulah cabang Jamiatul Kheir yang bisa tumbuh di mana saja," ucap Saugi.
Advertisement