Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran (gini ratio) antara penduduk kaya dan miskin. Guna mewujudkan pemerataan ekonomi, pemerintah membuat program ekonomi berkeadilan melalui tiga pilar utama.
"Ada tiga pilar kebijakan untuk pemerataan ekonomi, yakni lahan, kesempatan, serta pelatihan dan pendidikan vokasional. Nanti akan dikembangkan menjadi banyak," Darmin mengatakan saat Dialog Ekonomi Berkeadilan di SCTV Tower, Jakarta, Kamis (2/3/2017).
Darmin menjelaskan, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5 persen-6 persen, namun ketimpangan ekonomi memburuk dan kembali membaik di 2016. Gini ratio pada September 2016 turun 0,003 poin menjadi 0,394 dari sebelumnya 0,397 di Maret 2016. Sementara di September 2015, angka gini ratio masih 0,402.
Baca Juga
Advertisement
"Karena reformasi kebijakan kita kombinasi dengan membangun infrastruktur. Bangun infrastruktur yang menikmati di awal adalah buruh bangunan, inilah yang membuat distribusi pendapatan sedikit membaik," dia menambahkan.
Akan tetapi menurut Darmin, satu hal yang tidak pernah disentuh adalah persoalan lahan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Tanah Air. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, dia menambahkan, ada 54 persen petani lokal yang hanya menguasai lahan paling luas 0,5 hektare (ha).
"Harus diakui dari dulu kita tidak pernah menyentuh soal ini. Masalah lahan adalah area yang sangat fundamental dalam pemerataan ekonomi. Begitupun dengan kesempatan modal, dan pendidikan yang juga banyak memicu komentar," dia menerangkan.
Oleh karena itu, Eks Gubernur Bank Indonesia (BI) itu menilai, lahan, kesempatan dan pendidikan vokasi menjadi penting untuk mewujudkan ekonomi yang berkeadilan, mendekatkan jurang ekonomi antara si kaya dan miskin di negara ini.
Selama ini, Indonesia banyak mendidik calon tenaga kerja, baik melalui sistem pendidikan akademis maupun jalur vokasional. Faktanya, banyak lowongan kerja tidak terisi karena tidak cocoknya keahlian para lulusan tersebut. Pemerintah menganggap perlu ada job matching, agar lulusan dengan keterampilan tertentu tepat sasaran pada lapangan kerja yang dituju.
"Maka kita mulai dengan reformasi, merombak kurikulum. Kurikulum didesain menurut modul, serta lebih banyak pada praktik untuk mengasah keterampilan. Dalam hal ini, kita butuh peran serta swasta," kata Darmin.