Liputan6.com, Bantul - Batik merupakan salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, khususnya Jawa sejak lama. Atas dasar ingin melestarikan budaya inilah, Lugiyantoro (28 tahun) berniat mengembangkan usaha batik.
Namun, berbeda dari batik biasa yang pembuatan motifnya diproses dengan menggunakan canting tangan atau dicap, batik buatan pria ini menggunakan media api, yang disebutnya sebagai batik api.
Advertisement
“Niat utama saya ingin melestarikan tradisi batik dan saya ingin jadi seniman juga tapi yang berbeda, terus ya sudah saya coba buat batik yang dilukis dengan media api,” ujar Lugiyantoro saat ditemui Liputan6.com di kediamannya, Dusun Kweni, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Minggu (4/3/2017).
Menurut pria yang akrab disapa Lugi ini, dirinya mempelajari batik dari museum-museum yang sering dikunjunginya dan terinspirasi dari seorang seniman batik terkenal di Yogyakarta bernama Joko Sudadiyo atau lebih dikenal dengan Joko Pekik.
“Saya terinspirasi dari Pak Joko Sudadiyo, dia seorang pelukis batik. Kalau di Eropa dia sudah sip dan terkenal. Waktu ketemu Pak Joko, beliau bilang ke saya kamu bisa melukis coba dibuat batik saja, ya saya coba membatik di kertas dulu, terus saya terpikir kalau di kain bagaimana? Dibuat baju sepertinya bagus, ya sudah kemudian saya coba dan buat eksperimen,” kata Lugi.
Pria yang memang hobi melukis sejak kecil ini mengatakan, ia memakai senthir untuk membuat pola-pola batik dengan api, dan setelah terpola kemudian dilanjutkan menggunakan malam (zat lilin) seperti pada umumnya jika ingin mendapatkan perpaduan warna lain.
Perbedaannya dengan batik konvensional terletak pada warna batiknya yang terlihat coklat seperti warna malam. Selain itu, teksturnya juga unik karena dari api. Sementara untuk proses pembuatan satu baju dibutuhkan waktu pengerjaan sekitar 5 hari.
“Ya waktu eksperimen buat batik api sempat gosong beberapa kali, tapi saya enggak menyerah, bereksperimen lagi, begitu terus. Ya selama satu tahun saya coba bereksperimen dan menekuni, hasilnya sekarang saya sudah temukan formula yang pas,” tutur anak sulung dari dua bersaudara ini.
Awalnya, pria kelahiran Bantul, 11 Desember 1988 ini mengaku tidak terpikir untuk menjual hasil karyanya, apalagi pihak keluarga dan teman-temannya tidak mendukung malah dirinya sempat dianggap aneh dan gila.
Namun setelah mengikuti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) pada November 2016 lalu, banyak yang melihat hasil karyanya dan malah ingin membeli kaos batik api buatannya.
“Tadinya memang murni karena saya ingin melestarikan tradisi batik ini. Saya juga buatnya baru sedikit, Nah pas di FKY banyak yang tanya dan pesan waktu saya membatik api. Dari situlah saya terpikir untuk mulai menjual. Saya sudah nggak memikirkan kata orang yang bilang saya gila, dan sekarang saya bisa buktikan,” kata Lugi.
Bermodal uang Rp 900 ribu, pria lulusan SMA Muhammadiyah 1 Bantul tahun 2008 ini sudah berhasil menjual 10 kaos batik dan 3 kemeja batik api hasil karyanya dalam kurun waktu 1,5 bulan, yang jika ditotal nilainya Rp 3,35 juta.
“Rencana pemasaran awal di Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional-red) Bantul dulu, tapi nanti saya mau jadikan ini UMKM juga didaftar di lembaga resmi, sekarang sih sudah mulai tanya-tanya untuk hak paten batik api yang saya ciptakan ini,” jelas putra dari pasangan Longgar dan Wariyah ini.
Lugi berharap batik api yang diciptakannya ini bisa dikenal dan disukai masyarakat, sehingga niatnya untuk melestarikan batik yang dibuat dari api bisa terwujud. Dia juga berencana ingin membuat batik sebanyak mungkin dan dijual kepada orang yang berminat dengan karyanya.
“Karena saya juga punya impian, batik saya bisa dikenal, minimal di Indonesia tahu kalau batik api saya yang ciptakan dan mungkin juga bisa dikenal hingga ke Eropa,” pungkasnya.