Liputan6.com, Jakarta Teknologi kini semakin berkembang, namun ternyata tidak selalu menguntungkan bagi beberapa kalangan. Selalu ada yang tersingkirkan dan terlindas dari awal kemunculannya, seperti para pengrajin bata merah tradisional di Desa Transat, Banjar Baru Kalimantan Selatan.
Awalnya usaha tersebut menjadi primadona namun sejak adanya kiriman batako press dari Jawa yang lebih murah dan bata ringan yang lebih praktis, popularitas bata merah turun pamornya. Tak sedikit pabrik-pabrik kecil itu gulung tikar tapi ada sebagian yang mempertahankan usahanya dan tetap mempertahankan buruhnya yang diberi upah tak sepadan dengan kerasnya mereka bekerja.
Advertisement
Dan sebagian yang kecil tersebutlah yang akhirnya termarjinalkan. Tak ada jalan lain dan tak ada keahlian lain yang bisa dilakukan selain membuat bata merah.
Meski mereka berpenghasilan sedikit, mereka terus menekuni pekerjaan ini untuk menyambung hidup. Misalnya Mujinah dan suaminya, Agus Sumarno, yang sering tinggal dipabrik dan tidur diatas tumpukan bata. Ada Hendra Budiman dan Ahmad yang merangkap sebagai guru ngaji.
Sebagai pengrajin bata merah, penghasilan memang tak seberapa maka tak heran Mujinah dan suaminya harus menumpang tinggal di tanah milik bossnya, mendirikan gubuk kecil untuk melindungi anak-anak nya dari panas dan hujan.
Sungguh ironis, mereka yang sehari-harinya mencetak bata merah namun rumah yang mereka buat hanya terbuat dari kayu, itu pun kayu sisa produksi atau kayu bekas mencetak bata dan rumah mereka beralaskan tanah.
Tak ditemukan WC dan air besih, untuk menuju tempat air diapun harus mengambil air di bekas galian yang sudah membentuk sumur besar itupun tatkala ada hujan. Jika musim kemarau terpaksa harus numpang ke tetangga.
Di gubuk kecil yang bersebelahan dengan pabrik bata itu dia hidup bersama ke 6 anaknya yang masih kecil-kecil, anak pertamanya kelas 5 SD dan anak bungsunya baru 3 tahun, meski memiliki anak batita, ibu yang ramah ini pun turut membantu perekonomian keluarga dengan membantu mencetak tanah liat menjadi bata.
Tak hanya pengrajin bata merah saja, Rumah Yatim Arrohman Indonesia cabang Banjar baru yang berada di Jl.Ahmad Yani km.34 No. 43 Banjar baru, Kalimantan Selatan pun memberikan perhatiannya dalam program pemberdayaan santunan biaya hidup ini kepada Sunardi, Asropi dan Diman yang bekerja serabutan.
“Program ini diberikan kepada warga kurang mampu khususnya fakir dan miskin.” Papar Hendiansyah, Kepala Asrama Rumah Yatim Banjar Baru.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6