Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan adanya 14 nama besar yang akan muncul dalam sidang kasus dugaan suap pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik, atau E-KTP. Hanya saja, KPK tak merinci nama-nama tersebut.
Meski begitu, 14 nama itu disebutkan merupakan para anggota dewan. KPK akan bekerja sesuai dengan kewenangan hingga memungkinkan menjerat pelaku yang berada di DPR.
Advertisement
"Kami akan pelajari fakta-fakta yang muncul di persidangan. Dan juga memproses pihak-pihak lain sepanjang ada bukti yang cukup," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin 6 Maret 2017.
Pimpinan KPK, Agus Rahardjo juga sempat mengatakan, dalam dakwaan kasus E-KTP pada 9 Maret 2017 mendatang, akan ada nama-nama besar yang akan muncul. Nama-nama tersebut sempat menjalani pemeriksaan di Gedung KPK.
"Ada 23 orang anggota DPR yang kita panggil juga, tapi tidak semuanya hadir, yang hadir sekitar 15 orang dalam pemeriksaan di penyidikan," kata Febri.
Febri meminta agar masyarakat ikut mengawal persidangan kasus yang menjerat Sugiharto dan Irman ini. "Ada indikasi pengkondisian pengadaan, atau pengkondisian pemenang tertentu yang nanti akan kami ungkap juga didakwaan. Termasuk indikasi adanya aliran dana pada pihak-pihak tertentu. Kita berharap publik ikut mengawasi proses sidang ini," sambung Febri.
KPK telah menetapkan dua tersangka pada kasus dugaan korupsi proyek E-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri. Keduanya, yakni bekas Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.
Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sebelumnya, KPK menyebut dugaan korupsi proyek E-KTP pada 2011-2012 ini sebagai salah satu kasus besar yang rumit. Setidaknya, sudah lebih dari 250 saksi diperiksa untuk proyek yang diduga memakan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun.
"Agak pelik memang ini kasus. Di samping sudah lama, orang-orangnya sudah pensiun," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di Jakarta, Rabu 16 November 2016.