Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) diklaim menjadi bank sentral pertama di antara negara lain yang menerapkan kebijakan kehati-hatian dalam pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN) korporasi non bank. Kebijakan ini mencakup tiga aspek utama, yakni mitigasi risiko likuiditas, mismatch mata uang, dan kelebihan utang (overleverage).
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo mengungkapkan, mengacu pada Peraturan BI tentang Ketentuan Penerapan Prinsip Kehati-hatian (KPPK), BI meminta debitur melaporkan ULN, melakukan lindung nilai (hedging), menjaga likuiditas, dan meminta melakukan rating kepada korporasi maupun surat utang.
"Kebijakan ini tidak banyak dilakukan di negara lain, bahkan ini menjadi contoh di negara lain untuk mereka terapkan dalam konteks kehati-hatian ULN swasta non bank. Kalau perbankan relatif sudah terjaga," jelas dia di Gedung BI, Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Baca Juga
Advertisement
Dengan PBI KPPK yang melengkapi PBI Kewajiban Pelaporan ULN yang telah ada sejak 2000, BI merupakan bank sentral yang secara lengkap memiliki dan memantau data ULN korporasi nonbank, baik data posisi, data penarikan, dan pembayaran, serta data pengelolaan risiko ULN.
"Kebijakan BI tersebut diapresiasi dunia internasional, khususnya International Moneter Fund (IMF)," kata Dody.