Liputan6.com, London - Saat itu September 2012 kala Taliban memenggal kepala kakek dari Walid Durani. Tubuhnya lalu dibuang ke tempat pembungan sampah di Provinsi Ghazni, Afghanistan.
Di kening jasad itu tertancap pesan: Keluarga Durani harus menghentikan bantuan minyak dan listrik kepada militer AS atau mereka akan menghadapi nasib yang sama.
Advertisement
Enam bulan sebelum insiden sadis itu, ayah Walid diculik oleh kelompok bersenjata. Jadi, satu-satunya pria dalam keluarga Durani adalah Walid. Saat itu ia masih berusia 14 tahun.
Dikutip dari The Independent pada Kamis (9/3/2017) ancaman itu membuat sang ibu membawanya ke sebuah mobil di hari jasad sang kakek ditemukan. Mereka menyeberang perbatasan ke Pakistan. Dari sana, seorang keluarga membawanya terbang ke Heathrow, Inggris.
Pelariannya membuat Walid tak yakin di mana saat itu ia berada.
"Aku tak bisa satu kata pun bahasa Inggris," kata Walid. "Yang aku miliki adalah nomor telepon kakak iparku," ucapnya lagi.
Walid kemudian mendaftar sebagai pencari suaka. Ditolak, namun masih diperkenankan untuk tinggal di Inggris. Saat itu ia sekolah dan belajar bahasa Inggris. Ia kemudian berteman dengan remaja putra, anak dari seorang pengusaha kontraktor yang kemudian mengangkat Walid untuk magang di kantornya.
Ia juga belajar tentang membuat tembok dari batu bata sehari tiap minggunya di sebuah universitas. Dan ia menjadi murid berprestasi di situ.
Berkat usahanya di sekolah itu, membuatnya dinominasikan sebagai Young Apprentice of the Year award dan Walid berama 16 pemida lainnya diundang ke Parlemen Inggris untuk menerima penghargaan dari Lord Bird, pendiri majalah Big Issue.
Namun, keberuntungan Walid berubah ketika ia berusia 18; sebagai orang dewasa, ia tidak lagi memiliki hak untuk tetap di negara itu. Hakim Imigrasi di persidangan awal menyatakan kala berusia 14 tahun ia dalah imigran ekonomi, dan Home Office telah berulang kali menolak aplikasi sebagai pencari suaka dengan alasan bahwa ia harus membuktikan klaimnya penganiayaan dengan dokumen-dokumen.
Walid, yang tinggal di Fleet, Hampshire, telah mencoba untuk mendapatkan bukti kematian kakeknya, namun gagal.
"Polisi sangat korup di Afghanistan sehingga saya tidak bisa mendapatkan dokumen apapun tanpa membayar suap besar", katanya.
"Selain itu, sertifikat kematian tidak benar-benar di Afghanistan. Negara itu terlalu kacau," ujar Walid.
Lelah dengan status hukumnya, dan dengan usaha terakhirnya ditolak akhir tahun lalu, ia kini harus menghadapi deportasi setiap saat, membuat remaja Afghanistan menangis dan putus asa.
"Saya tidak punya satu pun keluarga yang tersisa di Afghanistan", katanya.
"Keluarga saya semua telah berada di Austria, tapi saya tidak bisa bergabung dengan mereka karena saya tidak memiliki paspor. Apa yang akan saya lakukan jika mereka mengusir saya kembali ke Kabul? Apakah saya harus hidup di jalanan?" tutup Walid.