Liputan6.com, Semarang - Selamat Pagi Indonesia. Selamat merawat dan membangun negeri ini. Negeri yang banyak dipuja karena keindahannya, kebhinekaannya, kekayaan alamnya, dan keramahan penduduknya, meski ada segelintir kelompok yang bangga karena kemarahannya.
Sesungguhnya Indonesia bak surga. Bahkan ketika kita menyimpan bawang merah di dalam kulkas sekalipun, ia akan bertunas dan tumbuh.
Sungguh sebuah anugerah yang luar biasa. Suasana bak berada di khayangan, tempat dewa-dewa, seperti pernah dimimpikan Dewi Citrawati, permaisuri Prabu Arjuna Sosrobahu dari Kerajaan Maespati, dalam mitologi pewayangan.
Alkisah, Puri Maerakaca atau versi lain menyebutnya dengan Taman Sriwedari. Itulah sebuah taman dari kayangan yang dianggap mampu mewakili seluruh ketentraman kayangan. Kisah pemindahan taman Maerakaca ini bisa disimak dalam lakon pewayangan "Sumantri Ngenger" (Sumantri Merantau).
Diawali dari kisah perantauan Bambang Sumantri yang karena kesaktian dan ketampanan wajahnya, ia sukses menduduki jabatan patih. Namun kemudian timbul sifat pongah dalam dirinya, ia justru menantang rajanya.
Baca Juga
Advertisement
Raja titisan Wisnu itu sangat marah sehingga melakukan triwikrama (mengubah diri). Bambang Sumantri langsung bertekuk lutut. Kemudian ia dipecat dari jabatannya sebagai patih.
Namun ia diberi pengampunan dan kesempatan menjadi patih lagi jika bisa memenuhi keinginan permaisurinya, Dewi Citrawati untuk memindahkan Puri Maerakaca atau Taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasagara ke Maespati. Taman indah itu adalah milik Batara Wisnu.
Saat galau itulah datang adiknya yang buruk rupa, berwajah raksasa, menakutkan, dan menjijikkan bernama Bambang Sukrasana. Meski berwajah raksasa, Sukrasana memiliki kebijakan sekelas dewa. Sukrasana menyanggupi membantu memindahkan taman itu.
Dengan ilmu yang dimilikinya, hanya dalam waktu semalam ia memindahkan Puri Maerakaca ke Maespati dalam keadaan utuh tanpa kurang suatu apapun. Sumantri segera melapor ke hadapan Prabu Arjuna Sasrabahu bahwa tugas memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan Untarasagara ke Maespati telah selesai dikerjakan.
Keindahan surgawi itulah yang kini hendak diciptakan di Puri Maerakaca. Taman mini Jawa Tengah itu sekarang mengoptimalkan keberadaan hutan mangrove sebagai daya tarik. Pengunjung bisa mengelilingi seluruh Jawa Tengah dengan membelah hutan mangrove ini kurang dari dua jam.
Dwi Puji salah satu pengunjung menyebutkan bahwa hutan mangrove selalu identik dengan bau busuk air payau dan suasana kumuh. Namun di Puri Maerakaca ini hutan mangrove sangatlah indah.
"Apalagi setelah dibangun tracking atau jembatan. Wow jadi luar biasa," kata Dwi Puji.
Sebenarnya mangrove ini sudah cukup lama keberadaannya. Tren swafoto atau selfie mendorong pengelola untuk menciptakan spot selfie yang baru. Tentu saja hutan mangrove ini disambut gegap gempita anak-anak muda. Bukan hanya anak muda, namun juga orang-orang tua yang ingin memberi wisata pengetahuan kepada anaknya.
Seperti disampaikan Yulianto yang tinggalnya hanya beberapa ratus meter dari lokasi. Menurutnya sesungguhnya pemandangan seperti itu sudah sangat biasa. Namun mengingat anak-anaknya sudah jauh dari tradisi mencari ikan, maka ia merasa perlu memperkenalkan mangrove sebagai pelindung pantai kepada anaknya.
"Jika ada mangrove lebat, abrasi bisa direduksi. Sebagai anak pesisir, anak saya harus paham ini," kata Yulianto.
Ikan Terbang
Dwi Puji menyebutkan bahwa berkunjung ke hutan mangrove ini menjadi sangat luar biasa di waktu pagi atau sore hari. Selain bisa menikmati angin laut yang menyehatkan, jika beruntung bisa menyaksikan ikan terbang. Ikan terbang? Seperti halnya terbang dengan sayap?
"Ya, ikan terbang. Sebenarnya itu ikan bandeng, namun mereka melompat ke udara sehingga seperti terbang," kata Dwi.
Selain menyajikan keindahan, mangrove yang lebat ini jelas sebagai benteng keberadaan Taman Mini Jawa Tengah ini sesungguhnya merupakan miniatur Jawa Tengah. Isinya memuat seluruh Kabupaten atau Kota di Jawa tengah, seperti halnya TMII.
Memang hutan mangrove sedang naik daun, namun perpaduan lebatnya hutan mangrove, jernihnya air laut jawa, dan ikan bandeng terbang, tak akan bisa ditemui di tempat lain.
Jika dalam cerita pemindahan Taman Maerakaca di pewayangan berakhir dengan dramatis, yakni terbunuhnya Sukrasana oleh panah kakaknya Sumantri karena malu memiliki adik berwajah buruk meski berhati baik.
Hutan mangrove Maerokoco ini sejatinya juga menyimpan beberapa masalah. Jika tak tertangani dengan baik, bisa menjadi bom waktu. Pertama adalah adanya reklamasi pantai Marina yang jika tak terkendali pasti akan merusak keberadaan hutan mangrove ini jika abrasi semakin besar.
Kedua adalah adanya sengketa lahan PRPP yang berada di samping Taman Maerokoco, jika Pemprov Jateng tak cerdas menyikapi, bisa jadi Taman Maerokoco akan dicaplok swasta juga.
Nah, jika ingin menyambut pagi penuh semangat dengan keindahan surgawi, dengan keajaiban ikan-ikan terbang yang bersemangat, tak salah memilih hutan mangrove Maerakaca.
Advertisement