Jaksa: 49 Persen Anggaran E-KTP Dinikmati Para Pejabat

Selain kesepakatan mengenai pembagian keuntungan, dalam pertemuan tersebut juga disepakati rekanan proyek tersebut.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 09 Mar 2017, 13:38 WIB
Sidang kasus e-KTP

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 49 persen anggaran dari kasus e-KTP dinikmati sejumlah nama-nama besar di DPR. Hal tersebut terungkap dalam dakwaan kasus pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Siguharto.

"Khususnya Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin," ujar JPU KPK Irene Putrie saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kamis (9/3/2017).

Irene menjelaskan, ketiga nama tersebut beberapa kali melakukan pertemuan dengan pengusaha Andi Agustinus, alias Andi Narogong. Andi memilih bertemu mereka lantaran dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar yang bisa menyetujui anggaran e-KTP.

Dalam dakwaan, Irene menerangkan, dari beberapa kali pertemuan disepakati DPR akan menyetujui anggaran pengadaan e-KTP sesuai grand design 2010, yakni kurang lebih Rp 5,9 triliun yang proses pembahasannya akan dikawal Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar.

"Dengan kompensasi Andi Agustinus alias Andi Narogong akan memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)," ungkap Jaksa Irene.

Setelah anggaran tersebut disepakati, lanjut Jaksa Irene, sebanyak 51 persen atau Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek. Sisanya, 49 persen, atau sejumlah Rp 2,558 triliun akan dibagi-bagikan.

Pembagian Uang

Dari 49 persen itu (kasus e-KTP) dibagikan kepada beberapa pejabat di Kemendagri termasuk terdakwa sebesar Rp 365,400 miliar atau tujuh persen. Untuk anggota Komisi II DPR, 5 persen atau sejumlah Rp 261 miliar.

Untuk Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau Rp 574.200.000.000, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, 11 persen atau Rp 574.200.000.000. "Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan 15 persen atau Rp 783 miliar," ujar Irene.

Selain kesepakatan mengenai pembagian keuntungan, dalam pertemuan tersebut juga disepakati rekanan proyek tersebut adalah BUMN. Hal tersebut dianggap lebih mudah dalam hal pengaturan pelaksanaan proyek.

Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, September-Oktober 2012, di ruang kerja Mustoko Weni di gedung DPR, Andi memberikan sejumlah uang kepada anggota DPR dengan maksud agar Komisi II dan Banggar DPR menyetujui anggaran untuk pengadaan dan penerapan e-KTP.

Dengan perincian, kata jaksa, untuk Anas USD 500 ribu, yang diberikan melalui Eva Ompita Soraya. Pemberian tersebut merupakan kelanjutan pemberian yang dilakukan pada April 2010 sejumlah USD 2 juta yang diberikan melalui Fahmi Yandri.

Menurut jaksa, sebagian uang tersebut kemudian digunakan untuk membayar biaya akomodasi kongres Partai Demokrat di Bandung. Selain untuk kongres, sebagian lagi diberikan kepada Khatibul Umam Wiranu, anggota Komisi II DPR, USD 400 ribu, Ketua Fraksi PD Jafar Hafsah USD 100 ribu.

"Yang kemudian dibelikan satu unit mobil Toyota Land Cruiser B 1 MJH," kata Irene.

Pada Oktober 2010, lanjut jaksa, Andi kembali memberikan USD 3 juta kepada Anas, Arief Wibowo sebesar USD 100 ribu, Chaeruman Harahap sebesar USD 550 ribu, Ganjar Pranowo sebesar USD 500 ribu, Agun Gunandjar Sudarsa USD 1 juta, Mustoko Weni USD 400 ribu, Ignatius Mulyono USD 250 ribu, Taufik Effendi USD 50 ribu dan Teguh Djuwarno USD 100 ribu.

Setelah adanya kepastian tersedianya anggaran proyek e-KTP, Andi beberapa kali juga memberikan uang kepada pimpinan Banggar DPR di ruang kerja Setnov, lantai 12 gedung DPR dan ruang kerja Mustoko Weni.

Yakni untuk Ketua Banggar Melchias Markus Mekeng USD 1,4 juta, Wakil Ketua Banggar Mirwan Amir dan Olly Dondokambey masing-masing USD 1,2 juta, Tamsil Linrung USD 700 ribu.  

Selain itu, pada Oktober 2010 sebelum masa reses, Andi kembali memberikan USD 500 ribu kepada Arief Wibowo untuk dibagikan kepada seluruh anggota Komisi II DPR. Perinciannya Ketua Komisi II USD 30 ribu, tiga Wakil Ketua Komisi II masing-masing USD 20 ribu, sembilan  Kapoksi masing-masing USD 15 ribu. Dan 37 anggota Komisi II DPR masing-masing USD 5 ribu sampai dengan USD 10 ribu terkait kasus e-KTP.


Membantah

Berdasarkan data Liputan6.com, nama-nama besar yang pernah diperiksa oleh penyidik KPK dalam suap e-KTP di antaranya adalah, Ketua DPR Setya Novanto. Dia sempat diperiksa pada 13 Desember 2016, 4, dan 10 Januari 2017.

Namun, Setya Novanto membantah terlibat dalam kasus itu. Selama pemeriksaan, penyidik hanya mengklarifikasi pertemuan di DPR.

"Itu hanya klarifikasi yang berkaitan saya sebagai ketua fraksi (Golkar). Itu (pertemuan) ada Pimpinan Komisi II, tentu menyampaikan. Tetapi yang disampaikan normatif aja," tutur Setya Novanto usai pemeriksaan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 10 Januari 2017.

Nama lain yakni, mantan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, yang juga Gubernur Jawa Tengah. Ganjar sempat diperiksa pada 7 Desember 2016. Dia pun membantah turut menerima aliran duit dari pembahasan proyek e-KTP. Hal itu juga menjadi bagian yang ditanyakan oleh penyidik KPK dalam pemeriksaan tersebut.

"Saya jawab tidak, kebetulan tadi ada salah satu yang langsung dikonfrontasi ke saya, ya saya jawab apa adanya, ya saya senang," ucap Ganjar.

Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, diperiksa pada 26 Januari 2017.  Olly dituduh oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazarudin menerima uang 1 juta USD terkait proyek senilai Rp 5,9 triliun.

"Kalau ada bukti, lu kasih lihat, gua tuntut lu," ujar Olly dengan nada tinggi usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis itu.

Seusai pemeriksaan sebelumnya, Olly juga membantah. "Saya tidak pernah menerima suap," ujar Olly di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.

Anas Urbaningrum juga sempat diperiksa penyidik KPK pada 11 Januari 2017.

Ada nama besar lain yang sempat disebut Nazaruddin, yakni Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah, yang diperiksa KPK pada 5 dan 21 Desember 2016.

Jafar Hafsah, membantah turut ‎menerima aliran dana proyek pengadaan E-KTP pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri. Dia berdalih masih duduk di Komisi IV saat anggaran proyek itu dibahas bersama Komisi II DPR.

"E-KTP itu saya ada di Komisi IV. Sedangkan E-KTP itu ada di Komisi II. Jadi saya tidak, tidak paham persis daripada E-KTP dan perjalanannya,‎" ujar Jafar usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin 5 Desember 2016.

Selain Jafar Hafsah, Nazaruddin menyebutkan pihak lain yang menerima aliran dana tersebut, yakni dari kementerian; mantan Menteri Keuangan era SBY, Agus Martowardojo yang pernah diperiksa KPK pada 1 November 2016.

Pada pemeriksaan tersebut, Agus menegaskan juga membantah tudingan itu. Dia mengaku justru dirinyalah yang menolak kontrak skema tahun jamak atau multiyears, bukan Sri Mulyani.

"Saya juga dengar ada kalimat bahwa saya jadi Menkeu menggantikan Sri Mulyani 20 Mei 2010, sebelum ini ada penolakan multiyears contract oleh Sri Mulyani. Saya katakan di dalam file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani, yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke Menkeu, diajukan 21 Oktober 2010, dan di 13 Desember 2010 ditolak oleh saya," tutur Agus.

Nazaruddin juga sempat menyebut nama mantan Mendagri, Gamawan Fauzi. Gamawan pernah diperiksa KPK pada 19 Januari 2017.

Gamawan pun membantah terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP seperti yang dituduhkan Nazaruddin.

Febri mengatakan ada tiga cluster besar yang bermain dalam perkara dengan nilai proyek Rp 6 triliun ini. "Ketiganya itu mulai dari sektor politik, birokrasi dan swasta," kata Febri.

Perkara yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 miliar ini memang sempat mandek. "Agak pelik memang ini kasus. Di samping sudah lama, orang-orangnya sudah pensiun," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di Jakarta, R‎abu 16 November 2016.

Dua tersangka suap e-KTP Sugiharto dan Irman yang akan didakwa ini dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya