Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta menggelar sidang kasus e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Keduanya merupakan mantan pejabat Kemendagri yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan turut memperkaya diri dari hasil korupsi e-KTP tersebut.
Dalam dakwaan kasus e-KTP terungkap, adanya aliran dana puluhan hingga ratusan miliar yang diduga mengalir ke kantong-kantong pribadi anggota DPR, pejabat di Kemendagri, pengusaha pemenang proyek, dan partai politik.
Advertisement
Megaproyek senilai Rp 5,9 triliun ini mulai bergulir sejak 2010. Aroma tak sedap dari proyek itu mulai menguap pada 2013, saat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin berkicau tentang proyek bancakan DPR, yang salah satunya e-KTP. Sejumlah nama disebut terlibat dalam kasus tersebut.
KPK terus menggali kasus e-KTP ini dengan memeriksa sejumlah pihak. Mulai dari pihak Kemendagri, politikus atau DPR, hingga dari pihak swasta. Hasilnya, lembaga antirasuah itu menetapkan dua orang, Sugiharto dan Irman, sebagai tersangka. Selain itu, ada juga fakta lainnya yang menegaskan bahwa e-KTP masuk dalam kasus jumbo yang berhasil diungkap KPK.
Apa saja fakta kasus e-KTPP tersebut? Berikut ini uraian yang dihimpun Liputan6.com, Kamis (9/3/2017).
Telan Kerugian Rp 2,3 T
Kerugian negara dalam kasus e-KTP sangat fantantis. Jumlahnya tak hanya miliaran, tapi mencapai triliunan rupiah.
"Indikasi kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun. Untuk aliran dana ke sejumlah pihak semaksimal mungkin dipulihkan dan kalau tidak dinikmati perorangan dan terkait proses pengadaan akan dipertimbangkan strategi asset recovery," kata Jubir KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 10 Februari 2017.
Febri juga mengatakan, kerugian negara tidak hanya pada aliran dana saja, tapi juga pada berkurangnya aset dan keuangan negara atas korupsi yang dilakukan bersama-sama.
Ia menambahkan, KPK telah menerima uang Rp 250 miliar, hasil pengembalian dari penerima aliran dana e-KTP. Uang itu berasal dari beberapa pihak, baik koorporasi, konsorsium, dan perorangan.
Kerugian negara dalam kasus e-KTP ini menjari rekor KPK dalam menjerat pelaku ke meja hijau. Sebelumnya, KPK telah sukses menyeret sejumlah nama dalam kasus proyek Hambalang yang merugikan negara Rp 706 miliar. Jumlah tersebut didapat dari hasil audit investigasi BPK pada 2012-2013.
Advertisement
Periksa 250 Saksi
KPK mengaku telah memeriksa sekitar 250 saksi terkait kasus pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik atau e-KTP.
"Lebih dari 250 saksi sudah diperiksa KPK," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (11/1/2017).
Dari saksi-saksi tersebut, ada beberapa yang dipanggil berkali-kali. Menurut Febri, keterangan dari para saksi tersebut sangat dibutuhkan demi mengungkap kasus yang sudah mangkrak dari 2014 ini.
"Kami masih memeriksa saksi. Kemarin enam saksi, kami masih mendalami bagian krusial rangkaian E-KTP ini. Ke depan, diharapkan ada dua sisi yang lebih terang," kata Febri.
"Pertama, sisi proses pengadaan pada kementerian dan bagaimana proyek ini diatur, dan siapa yang berperan di sana," Febri menambahkan.
Beberapa politikus yang telah diperiksa KPK di antaranya Setya Novanto, Numan Abdul Hakim, Rindoko Dahono Wingit, Jafar Hafsah, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Agun Gunanjar, Chairuman Harahap, Santi Donamiarsi, hingga Ganjar Pranowo.
Dari pihak kementerian, beberapa orang yang telah diperiksa penyidik yaitu mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, mantan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, serta mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni.
Dari pihak swasta, beberapa yang telah diperiksa sebagai saksi adalah Sjahrian Kurnia Harahap, Evi Andi Noor Halim, Setyo Dwi Suhartanto, Eko Purwoko, Kwan Bie Eng, Fajri Agus Setiawan, dan Liauw Prasertyo.
Seret Nama Besar
Dalam sidang kasus e-KTP, jaksa penuntut umum menyebut ada sejumlah nama besar yang terseret dalam arus mega skandal tersebut.
Mereka di antaranya Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Drajat Wisnu Setyawan bersama enam anggota panitia pengadaan. Kemudian, Husni Fahmi beserta lima anggota tim teknis.
Lalu disebut dalam dakwaan kasus e-KTP itu sejumlah tokoh, yaitu Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan Taufik Effendi.
Kemudian, Teguh Juwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, dan Agun Gunanjar.
Ada pula nama Ignatius Mulyono, Maryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Laoly, dan 37 anggota Komisi II lain.
Kemudian juga memperkaya korporasi, yakni Perusahaan Umum Percetakan Negara (Perum PNRI), PT Len Industri, Pt Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo dan Managemen Bersama Konsorsium PNRI.
Advertisement
Ramai-Ramai Bantah
Ganjar Pranowo menilai, munculnya surat dakwaan itu menimbulkan sejumlah spekulasi. Pertama, dakwaan tersebut belum dibacakan, tapi sudah keluar ke publik. "Okelah enggak apa-apa, mungkin saat ini hawa politiknya sedang tinggi," ucap politikus PDI Perjuangan itu.
Kedua, kata Ganjar, bisa jadi dirinya menerima,tapi dia menegaskan bahwa dia tidak menerima uang yang dimaksud. "Bisa jadi saya tidak terima karena ketika di-deliver kepada seseorang tidak disampaikan kepada saya," Ganjar menandaskan.
Mantan Ketua DPR Marzuki Alie juga bersuara terkait hal ini. Politikus Demokrat tini bersyukur KPK membongkar kasus e-KTP. Dia mendukung pengungkapan kasus itu, meski namanya sempat disebut-sebut.
Namun, Marzuki menegaskan, ia tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi itu. "Saya enggak ikut sama sekali. Enggak ikut, enggak ngerti prosesnya. Tahu-tahu masuk budget. Enggak ada yang melobi pimpinan DPR kan, apalagi ke saya," kata Marzuki.
"Sedih sekali saya. Ini menghabiskan waktu saya lho. Saya lagi sibuk mempersiapkan acara pada 18 Maret nanti, tapi malah ada kabar nyakitin. Apa sih yang mau saya cari? Kaya, enggak dibawa mati. Anak saya juga sudah jadi. Untuk apa?" bantah Marzuki.
Ketua DPR Setya Novanto menegaskan tidak menerima apa pun dari kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP. "Saya demi Allah kepada seluruh Indonesia, bahwa saya tidak pernah menerima apa pun dari e-KTP," ujar pria yang karib disapa Setnov ini saat berpidato dalam Rakornis Partai Golkar di Redtop Hotel Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang pernah menjadi anggota Komisi II DPR pada 1 Oktober 2009–7 Mei 2012 juga ikut bersuara. Dia menegaskan tidak mungkin terlibat dalam kasus megakorupsi tersebut.
"Mana mungkin gua ikut-ikutan gituan (korupsi E-KTP)," ujar Ahok di Kediaman Megawati, Menteng, Rabu 8 Maret 2017.
Ada nama kadernya diduga terlibat e-KTP, PDI Perjuangan tak tinggal diam. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto memastikan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu telah memanggil kadernya yang disebut ikut menerima aliran dana dalam korupsi pengadaan E-KTP.
Menurut dia, PDIP meminta klarifikasi tentang dugaan penerimaan suap terkait megaproyek e-KTP. Tapi, kata dia, seluruh kader telah membantah tudingan itu. Namun, partainya akan menghormati proses hukum yang berjalan di Tipikor.
Kader PDIP, Yasonna Laoly, mengungkapkan, saat penganggaran proyek itu ia duduk sebagai anggota Komisi II DPR. Dia pun menegaskan tidak ikut menikmati aliran uang tersebut.
"Sebagai partai oposisi kita tidak ikut cawe-cawe soal e-KTP. Dalam pembahasan program dan anggaran, Fraksi PDI Perjuangan sangat kritis," kata Yasonna kepada Liputan6.com, Kamis (9/3/2017).
Oleh sebab itu, Yasonna menegaskan pihaknya tidak terlibat sama sekali dalam bagi-bagi fulus proyek yang menghabiskan hampir Rp 6 triliun atau Rp 5,9 triliun.
"Sepanjang mengenai aliran dana saya pastikan saya tidak ikut. Boleh dikonfirmasi, siapa yang memberikan? Di mana?" ujar Yasonna menegaskan.
"Apalagi disebut-sebut jumlahnya, wah sangat gede itu buat ukuran saya. Yang benar saja," dia menambahkan.