Liputan6.com, Jakarta - Tentara Jepang selalu menganggap masa pendudukan mereka di Indonesia adalah untuk memajukan 'saudara muda'.
Karena itu, menurut Profesor Aiko Kurasawa dari Keio University, hingga sekarang pihak Jepang menolak meminta maaf kepada Indonesia terkait periode kelam kolonialisasi selama tiga tahun, yakni 1942-1945.
"Mereka merasa kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya di luar kendali mereka, sehingga mereka tidak bisa melanjutkan cita-cita membebaskan bangsa Asia," tulis Aiko Kurasawa dalam Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya terbitan Komunitas Bambu (2016).
Salah satu hal unik yang dilakukan Jepang pada masa pendudukan adalah mendekati para ulama. Jepang sadar betul bahwa ulama mempunyai peran yang kuat sebagai basis dukungan terhadap Jepang. Selain memberi pangkat ketentaraan yang tinggi, misalnya Abdullah bin Nuh yang diberi pangkat daidhanco, Jepang juga mengangkat ulama menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Hal itu diungkapkan Aiko Kurasawa dalam bincang-bincang singkat dengan Liputan6.com di Depok, Jawa Barat, Rabu, 8 Maret 2017.
"Seluruh pamong praja yang tersisa dari Belanda dihapuskan dan diangkat yang baru dengan harapan ada kesetiaan. Selain diangkat menjadi PNS dan diberikan gaji, para ulama juga diberikan kursus latihan kiai. Semacam sertifikasi ya," ujar Aiko Kurasawa.
Advertisement
Bagi orang Indonesia sendiri, sikap Jepang terhadap agama Islam sangat ramah.
Padahal agama Islam tergolong baru bagi orang Jepang. Selain itu, Jepang juga baru pertama kali dalam sejarahnya menjajah daerah yang penduduknya mayoritas orang Islam.
Pada 1938, bersamaan dengan didirikannya masjid pertama Jepang di Tokyo oleh komunitas Turki, markas besar staf angkatan bersenjata mulai mendorong muslim Jepang naik haji dan belajar di Kairo.
Di Jawa sendiri, Jepang mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu) sebagai kantor setingkat departemen dalam gunseikanbu untuk menangani agama Islam.
Maka itu, tulis Aiko Kurasawa dalam Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya, adanya Shumubu yang independen mencerminkan betapa Jepang mementingkan agama Islam. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah bersafari ke tempat kiai-kiai terkenal, serta mengunjungi masjid dan pesantren.
Jika pada zaman Belanda kiai-kiai selalu dicurigai sebagai kaum antipemerintah, Jepang justru menghargai dan mementingkan para kiai sembari meminta nasihat.
Keluhan umat Islam mengenai pelarangan belajar bahasa Arab pun dipertimbangkan. Hingga akhirnya pemerintah Jepang memperkenankan pemakaian bahasa Arab karena Alquran harus dibaca dalam bahasa Arab.
Selain itu, jika pada zaman Belanda ada aturan yang melarang kiai menyinggung hal-hal politik dalam khotbah dan pengajaran, pada masa Jepang aturan itu dihapuskan. Sebaliknya Jepang justru mendorong para kiai untuk menyampaikan pesan politik Jepang dalam pengajaran agama. Ini artinya Jepang mempergunakan kiai untuk melakukan propaganda kepada rakyat.
Saking pentingnya mendidik para kiai agar mengerti maksud Jepang, Shumubu mengadakan kursus latihan kiai. "Sejumlah kiai dari berbagai provinsi dikumpulkan selama tiga minggu dengan biaya perjalanan dan biaya hidup yang ditanggung Jepang," ucap Aiko Kurasawa.
Kurasawa menyebut latihan itu diadakan 17 kali dengan murid yang berganti-ganti. Mata pelajarannya termasuk ada yang membenarkan kelakuan Jepang, seperti "Sebab dan Maksud Perang Asia Timur Raya", "Mengenai Kekikiran/Kerakusan Inggris-Amerika", "Maksud Penjajahan Militer Jepang" dan "Sikap Bangsa Barat terhadap Agama."
Meski begitu manis sikap Jepang terhadap umat Islam, ada satu hal yang tak bisa diterima. Pemerintah Jepang mewajibkan rakyat Indonesia melakukan kyujoyohai, yaitu bersembahyang ke arah Istana Kaisar Tokyo. Peraturan ini bertentangan dengan kewajiban umat Islam bersembahyang menghadap Mekah. Hal inilah yang susah diterima oleh orang Islam.