Liputan6.com, Jakarta Ketua Kompartemen Manajemen Penunjang Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr Lia G. Partakusuma, SpPK, minta agar rumah sakit Indonesia menyediakan layanan "laundry" bagi pasien sekaligus diminta menerapkan manajemen laundry terstandar.
"Sampai saat ini belum semua rumah sakit (RS) di Indonesia menyediakan manajemen laundry yang terstandar,"ujar Lia.
Advertisement
Padahal, kata Lia, bahaya penularan kuman patogen lewat linen dan pakaian dapat mengakibatkan infeksi. Juga bertambahnya waktu opname di RS, serta tambahan biaya perawatan bagi pasien.
Sebenarnya aturan tentang Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry), menurut Lia telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Sayang, belum semua rumah sakit mampu memenuhinya.
Hingga kini, menurut Lia belum semua RS yang beroperasi di Indonesia mengikuti akreditasi sehingga mungkin belum mengetahui standar keseluruhan atau terkendala biaya operasional.
Salah satunya ditandai dengan masih banyaknya rumah sakit yang tidak menyediakan pakaian bagi pasien rawat inap. Bahkan masih ada RS yang mewajibkan pasien membawa sendiri kain sarung untuk alas melahirkan, yang dibawa pulang dan dicuci sendiri keluarga pasien.
"Karena itu PERSI ingin membangun kesadaran pengelola rumah sakit untuk memiliki manajemen laundry yang benar. Selama ini laundry masih dipandang sebagai hal yang tidak terlalu penting, bahkan lokasi dan peralatannya seringkali kurang diperhatikan oleh manajemen rumah sakit,"ujarnya seperti dikutip dari Antara, Jumat (10/3/2017).
Padahal linen kata dia, merupakan salah satu materi yang dipakai berulang kali di RS sehingga tanpa manajemen laundry yang benar, memungkinkan terjadinya wabah infeksi kuman patogen.
Ketua APLI (Asosiasi Profesi Laundry Indonesia) Divisi Laundry Rumah Sakit Teddy Tjoegito menyebutkan, masih banyak rumah sakit yang tak memiliki mesin cuci standar. Ada juga yang menyerahkannya ke pihak ketiga (tempat cuci baju) di luar rumah sakit.
"Padahal mesin laundry RS harus menggunakan suhu air panas 70 atau 95 derajat, menggunakan jenis deterjen dan disinfektan yang ramah lingkungan, serta ada pemisahan antara linen infeksius dan linen non-infeksius," katanya.
Untuk itu PERSI mengimbau setiap rumah sakit memiliki laundry terstandar, atau melakukan "outsource" dengan monitoring ketat kepada penyedia laundry di luar rumah sakit. Laundry terstandar diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
Aturan tersebut juga telah diadopsi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit sebagai syarat proses akreditasi rumah sakit.
Rumah sakit perlu memiliki komitmen dan kemampuan menganalisis kebutuhan laundry rumah sakit masing-masing serta mempunyai kompetensi untuk mengerti proses terutama dalam hal menjaga mutu hasil.
"Perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai sistem pengawasan terhadap laundry rumah sakit sebab pasien mempunyai hak untuk mendapat pelayanan terbaik dan aman dari rumah sakit," katanya.
Sementara dalam hal kebersihan, menurut Sekretaris Jenderal APKLINDO (Asosiasi Perusahaan Klining Servis Indonesia) Tommy G. Hardjana, umumnya rumah sakit cukup patuh pada aturan dan standar kebersihan di rumah sakit.
"Kami membuat persyaratan aturan dan penerapan SOP tambahan, khusus bagi tenaga 'cleaning service' di penempatan rumah sakit, karena mereka rentan terinfeksi kuman patogen. Sejauh ini kami belum mendapatkan kasus tenaga 'cleaning service' yang tertular penyakit saat bekerja di RS," katanya.