Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah nama besar disebut dalam dakwaan kasus e-KTP. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun akan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membicarakan mekanisme hal ini.
"KPK akan berkoordinasi dengan LPSK dan para saksi yang merasa terancam, selain bisa datang ke LPSK, bisa datang ke KPK tentu saja dan kami bahas bersama tentang mekanisme perlindungan," ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di gedung KPK, Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Minggu (12/3/2017).
Advertisement
Menurut dia, KPK mengapreasi sikap LPSK yang siap memberikan perlindungan bagi saksi-saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012.
"Kami sambut baik LPSK jika siap lindungi saksi kasus e-KTP karena LPSK punya kewenangan untuk itu," kata Febri.
Selain perlindungan, lanjut dia, KPK juga perlu mengingatkan pihak-pihak yang ingin mempengaruhi saksi kasus e-KTP. Karena ada konsekuensi hukum dari tindakan itu. Misal pada Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Para saksi tidak usah khawatir kalau ada bentuk-bentuk ancaman, sebaiknya berkoordinasi segera dengan KPK atau LPSK," kata Febri.
Sebelumnya, pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai potensi ancaman kepada saksi kasus dugaan korupsi KTP elektronik, tinggi. Sebab, kasus e-KTP tersebut menyeret sejumlah politikus dan mantan pejabat negara.
"Kami menilai potensi intimidasi dan ancaman dalam kasus KTP elektronik cukup tinggi, LPSK membuka diri seandainya ada pihak yang membutuhkan perlindungan," kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Menurut dia, LPSK siap memberikan perlindungan bagi saksi yang mengetahui informasi dugaan megakorupsi itu, namun ketakutan menyampaikan keterangan kepada penegak hukum.
Dia mengatakan kasus korupsi merupakan tujuh perkara prioritas yang ditangani LPSK sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kehadiran LPSK untuk membantu pengungkapan dan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia dengan cara memastikan pemenuhan hak saksi, pelapor (whistleblower), saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dan ahli.
Sebelumnya, dalam dakwaan yang dibacakan terkait perkara e-KTP pada Kamis 9 Maret 2017 di Pengadilan Tipikor Jakarta, puluhan pejabat dan politikus disebut menikmati aliran dana pengadaan KTP elektronik pada 2011-2012.
Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto menjadi terdakwa pada kasus e-KTP ini.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.