Liputan6.com, Jakarta - Nyanyian soal kasus e-KTP tersebut disenandungkan M Nazaruddin pada Selasa 26 September 2016. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut baru saja selesai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat itu.
Dia mengungkap mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi terlibat kasus e-KTP. Dia mengatakan, Gamawan sewaktu masih menjabat Mendagri, turut menerima gratifikasi terkait proyek e-KTP.
Advertisement
"Sekarang yang pasti e-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK. Yang pasti Mendagrinya waktu itu (Gamawan Fauzi) harus tersangka," ucap Nazaruddin di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 26 September 2016.
KPK kembali memeriksanya pada 18 Oktober 2016. Hasrat Nazaruddin pun semakin tak terbendung untuk mengungkap korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun 2011-2012 ini ke publik.
Usai menjalani pemeriksaan, Nazaruddin kembali 'bernyanyi' soal kasus tersebut. Terutama pihak-pihak yang diduga turut menerima aliran dana korupsi e-KTP ini. Mereka yang disebut Nazaruddin, yakni mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan mantan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Djafar Hafsah.
"(Aliran dananya) itu ke Mendagri waktu itu (Gamawan Fauzi), Dirjen Dukcapil waktu itu (Irman), ke Menkeunya waktu itu (Agus Marto), dan Djafar Hafsah," ucap Nazaruddin di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 18 Oktober 2016.
Sebelum pemeriksaan-pemeriksaan itu, M Nazaruddin kerap menyebut nama pejabat yang diduga turut terlibat dan menerima aliran dana dari korupsi proyek e-KTP.
Dia pernah menyebut Ketua DPR Setya Novanto. Kemudian nama Gubernur Jawa Tengah yang dulu duduk di Komisi II DPR Ganjar Pranowo.
Kini, kasus e-KTP ini sudah bergulir ke pengadilan dengan mendudukkan Irman dan Sugiharto sebagai terdakwa. Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto ialah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.
Keduanya didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka diduga melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.
M Nazaruddin melalui pengacaranya, Elza Syarief, mengapresiasi kinerja KPK yang berani mengungkap kasus e-KTP. Dia pun memiliki harapan lebih ke KPK.
"Harapannya semua yang terlibat bisa dihukum," kata Elza mewakili Nazaruddin kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa 7 Maret 2017 malam.
KPK sendiri menilai kasus ini merupakan salah satu paling rumit yang pernah ditangani. Terlebih, kasus ini melibatkan 70-an nama pejabat.
"Untuk selanjutnya, kami ungkap pihak yang turut terlibat secara rinci yang totalnya mencapai 70 orang. 37 nama itu memang di dakwaan belum disampaikan, itu bagian dari 70-an nama (yang terlibat)," tandas Febri.
Dari 70 nama yang terlibat diungkapkan Febri bahwa di antaranya terdiri dari 5 korporasi, unsur pimpinan banggar, anggota Komisi II DPR RI, Pimpinan Fraksi, dua Kapoksi (Ketua Kelompok Fraksi), dan panitia pengadaan.
"Mereka menerima sejumlah uang menurut porsi posisinya masing-masing. Nanti di sidang, satu per satu akan dibuka pihak-pihak yang menerima uang," tutur Febri.
Dia juga mengatakan, pihaknya masih membuka kemungkinan, ada saksi baru dalam sidang e-KTP. Walaupun, lanjut dia, saksi itu belum pernah diperiksa KPK.
Sidang kasus e-KTP ini akan dilanjutkan pada Kamis 16 Maret 2017. Pada sidang tersebut, jaksa penuntut umum KPK akan mengajukan sejumlah saksi untuk memberikan keterangannya.
Akankah kasus e-KTP ini terungkap sesuai harapan terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, M Nazaruddin?
Mereka Membantah
Ketua DPR Setya Novanto membantah terlibat dalam kasus e-KTP. Dia pernah diperiksa KPK terkait kasus ini. Namun, dia mengatakan, selama pemeriksaan, penyidik hanya mengklarifikasi pertemuan di DPR.
"Itu hanya klarifikasi yang berkaitan saya sebagai ketua fraksi (Golkar). Itu (pertemuan) ada Pimpinan Komisi II, tentu menyampaikan. Tetapi yang disampaikan normatif aja," tutur Setya Novanto usai pemeriksaan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 10 Januari 2017.
Nama lain yakni, mantan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, yang juga Gubernur Jawa Tengah. Ganjar sempat diperiksa pada 7 Desember 2016. Dia pun membantah turut menerima aliran duit dari pembahasan proyek e-KTP. Hal itu juga menjadi bagian yang ditanyakan oleh penyidik KPK dalam pemeriksaan tersebut.
"Saya jawab tidak, kebetulan tadi ada salah satu yang langsung dikonfrontasi ke saya, ya saya jawab apa adanya, ya saya senang," ucap Ganjar.
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, diperiksa pada 26 Januari 2017. Olly dituduh oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazarudin menerima uang 1 juta USD terkait proyek senilai Rp 5,9 triliun.
"Kalau ada bukti, lu kasih lihat, gua tuntut lu," ujar Olly dengan nada tinggi usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis itu.
Seusai pemeriksaan sebelumnya, Olly juga membantah. "Saya tidak pernah menerima suap," ujar Olly di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.
Anas Urbaningrum juga sempat diperiksa penyidik KPK pada 11 Januari 2017.
Ada nama besar lain yang sempat disebut Nazaruddin, yakni Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah, yang diperiksa KPK pada 5 dan 21 Desember 2016.
Jafar Hafsah, membantah turut menerima aliran dana proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri. Dia berdalih masih duduk di Komisi IV saat anggaran proyek itu dibahas bersama Komisi II DPR.
"E-KTP itu saya ada di Komisi IV. Sedangkan e-KTP itu ada di Komisi II. Jadi saya tidak, tidak paham persis daripada e-KTP dan perjalanannya," ujar Jafar usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin 5 Desember 2016.
Selain Jafar Hafsah, Nazaruddin menyebutkan pihak lain yang menerima aliran dana tersebut, yakni dari kementerian; mantan Menteri Keuangan era SBY, Agus Martowardojo yang pernah diperiksa KPK pada 1 November 2016.
Pada pemeriksaan tersebut, Agus menegaskan juga membantah tudingan itu. Dia mengaku justru dirinyalah yang menolak kontrak skema tahun jamak atau multiyears, bukan Sri Mulyani.
"Saya juga dengar ada kalimat bahwa saya jadi Menkeu menggantikan Sri Mulyani 20 Mei 2010, sebelum ini ada penolakan multiyears contract oleh Sri Mulyani. Saya katakan di dalam file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani, yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke Menkeu, diajukan 21 Oktober 2010, dan di 13 Desember 2010 ditolak oleh saya," tutur Agus.
Nazaruddin juga sempat menyebut nama mantan Mendagri, Gamawan Fauzi. Gamawan pernah diperiksa KPK pada 19 Januari 2017.
Gamawan pun membantah terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP seperti yang dituduhkan Nazaruddin.
Kemudian, Yasonna Laoly yang saat ini menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM juga menampik tudingan itu. Sebagai kader partai oposisi ketika pembahasan proyek e-KTP, Yasonna mengaku tak pernah ikut campur soal anggaran.
"Dalam pembahasan program dan anggaran, Fraksi PDI Perjuangan sangat kritis. Sepanjang mengenai aliran dana saya pastikan saya tidak ikut. Boleh dikonfirmasi, siapa yang memberikan? Di mana? Apalagi disebut-sebut jumlahnya, wah sangat gede itu buat ukuran saya. Yg benar saja," tandas Yasonna dalam pesan elektronik kepada Liputan6.com.
Advertisement