Liputan6.com, Makassar - Hampir semua kawasan pegunungan yang tersebar di Indonesia memiliki cerita mistis tersendiri yang melegenda. Termasuk Gunung Bawakareng di Sulawesi Selatan yang menyimpan banyak kisah legenda.
Di Sulsel memang ada sekitar tiga gunung favorit para pendaki. Ada Gunung Latimojong yang terdapat di Kabupaten Enrekang serta Gunung Bawakaraeng yang berdampingan dengan Gunung Lompobattang yang berada di perbatasan Kabupaten Gowa-Kabupaten Sinjai.
Di antara ketiganya, Gunung Bawakaraeng yang terkenal sampai ke luar wilayah Sulsel. Gunung itu memang terkenal dengan medan yang terjal. Gunung yang memiliki ketinggian 2830 mdpl tersebut juga menyimpan cerita mistis.
Cerita mistis di area kawasan Gunung Bawakaraeng sudah lazim terceritakan di antara kalangan pendaki se-Sulsel. Mulai dari mitos keberadaan pasar hantu yang disebut warga setempat dengan sebutan Pasar Anjaya, sampai pada tentang cerita mistis lainnya.
Baca Juga
Advertisement
"Pasar Anjaya itu terletak di antara Gunung Lompobattang-Gunung Bawakaraeng. Disarankan pendaki tidak bermalam di sana karena akan menemukan hal-hal yang aneh seperti suara keramaian kayak di pasar, tapi tak ada seseorang satupun yang tampak," kata Pandi (45), warga Jalan Minasaupa, Makassar yang memulai aktifitas pendakian di Gunung Bawakaraeng sejak tahun 1993-an.
Selain itu, ada cerita melegenda lainnya di sini, yakni tentang arwah gentayangan perempuan berparas cantik bernama Noni. Pandi mengakui cerita mistis tersebut.
Mitos tersebut awalnya diceritakan oleh hampir semua penduduk di kaki Gunung Bawakaraeng yang disebut Kampung Lembanna. Noni, kata warga Lembanna, sering menampakkan diri saat bulan purnama.
Penduduk Lembanna sering bercerita kepada para pendaki, jika bulan purnama tiba, lalu angin tak berhembus kencang dan terdengar suara longlongan anjing sebaiknya jangan mendaki atau keluar tenda dulu.
"Karena bisa bertemu tiba-tiba dengan Noni yang kerap menampakkan diri," ungkap Pandi.
Pandi mengetahui cerita mistis tentang Noni saat bermalam di rumah penduduk di Lembanna sebelum esoknya memulai pendakian untuk mengikuti upacara 17 Agustus di Gunung Bawakaraeng.
Noni, Hantu Cantik yang Baik Hati
Menurut warga setempat, kata Pandi, dahulunya semasa hidup Noni sering mendaki Gunung Bawakaraeng bersama kekasihnya. Sekitar tahun 1970 atau 1980-an, hampir setiap pekan Noni mendaki. Ketika itu, aktivitas pendakian tak seramai sekarang. Karena sering mendaki, Noni pun akrab dengan warga.
Namun tiba-tiba suatu waktu Noni turun dari kawasan Gunung Bawakaraeng seorang diri lalu menuju pemukiman penduduk. Wajahnya pucat dan sesekali hanya melotot lalu terdiam. Warga pun, kata Pandi, menjadi heran melihat sikap Noni yang tadinya dikenal sebagai periang dan ramah jika bertemu penduduk setempat.
"Noni yang dilihat itu baru diketahui ternyata adalah arwahnya yang gentayangan. Itu diketahui setelah beberapa hari kemudian penduduk yang mencari kayu di dalam kawasan hutan gunung mendapati tubuh Noni tergantung di dahan besar pohon, tepatnya di Pos 3 Gunung Bawakaraeng," ungkap Pandi.
Hingga saat ini penyebab kematian Noni tak ada yang tahu secara pasti. Cerita penyebab meninggalnya Noni yang hinggap di telinga para pendaki pun beragam. Dari mulai gantung diri di dahan pohon sampai pada dibunuh dan jasadnya digantung di dahan pohon agar tak dimakan hewan buas.
"Namun bagi saya cerita mistis tentang Noni hanya sebagai mitos yang berkembang di mana sampai detik ini tak diketahui siapa sebenarnya Noni dan dimana kuburannya," ucap Pandi.
Selain cantik, hantu Noni juga kerap diceritakan sering berbuat baik dan membantu para pendaki. Umumnya mereka yang kesulitan, misalnya tersesat, kelelahan hebat atau kehabisan perbekalan. Bahkan ada cerita yang menyebut, Noni sering menemani, membuat makanan, sampai menuntun pendaki yang tersesat sampai ke desa terdekat di kaki gunung.
Meski demikian, Pandi mengakui cerita mistis kawasan Gunung Bawakaraeng tetap telestarikan. Masyarakat setempat pun masih menjaga budaya leluhur setempat. Salah satunya setiap tahun masyarakat kaki gunung beramai-ramai mendaki hingga ke puncak untuk melaksanakan salat jumat, salat Idul Adha serta ritual 1 Muharram dengan membawa hasil panen dan ternak berupa ayam dan kambing.
"Di atas puncak hewan ternak itu dilepas kemudian jadi rebutan warga lainnya. Ritual itu biasanya digelar pada 1 Muharram kalau tidak salah. Saya pernah ikuti kegiatannya tapi sudah lama," ungkap Pandi.
Bahkan masyarakat setempat meyakini jika seseorang telah mencapai puncak Gunung Bawakaraeng, sama halnya sudah menunaikan haji. Mereka percaya bisa berhaji dari puncak gunung seperti halnya berhaji di Tanah Suci.
"Cerita warga tantangan naik haji sama halnya jika mendaki ke puncak Bunung Bawakaraeng," ucap Pandi.
Advertisement