Surplus Neraca Dagang RI Februari Diprediksi Turun, Ini Sebabnya

Penurunan tersebut akibat koreksi pertumbuhan ekonomi China yang menyeret ke bawah permintaan ekspornya.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 15 Mar 2017, 08:30 WIB
Sejumlah truk peti kemas di area JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). BPS mencatat, nilai ekspor September 2016 sebesar US$ 12,51 miliar, turun 1,84% dibanding bulan sebelumnya dan turun 0,59% (yoy). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi surplus neraca perdagangan Februari 2017 bakal merosot menjadi sekitar US$ 900 juta sampai US$ 1 miliar dibanding realisasi US$ 1,40 miliar di Januari ini. Penurunan tersebut akibat koreksi pertumbuhan ekonomi China yang menyeret ke bawah permintaan ekspornya.

"Ekspornya diprediksi sekitar US$ 11 miliar-US$ 12,5 miliar, sedangkan impor US$ 10,5 miliar-US$ 11 miliar. Jadi surplus sekitar US$ 900 juta-US$ 1 miliar didukung surplus non migas," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (15/3/2017).

Lebih jauh dijelaskan Bhima, meski harga komoditas mengalami perbaikan sejak awal Januari lalu, penurunan surplus tidak terelakkan karena kontraksi dari permintaan China. Untuk diketahui, China memangkas pertumbuhan ekonomi 2017 menjadi 6,5 persen dari proyeksi sebelumnya 7 persen.

"Yang sedikit dicermati permintaan dari China karena mengkhawatirkan menyusul dipotongnya target pertumbuhan ekonomi China tahun ini yang di bawah 2016. Termasuk data Amerika Serikat sebagai tujuan ekspor tradisional mix," dia menerangkan.

Bhima berpendapat, pemerintah perlu mewaspadai tren kenaikan harga komoditas. Alasannya, dia bilang, harga minyak dunia tengah merosot di Maret ini sehingga dikhawatirkan neraca perdagangan Indonesia pun akan terkontraksi.

Dirinya berharap, pemerintah dapat mengantisipasi kondisi tersebut dengan mendorong hilirisasi industri, dan menarik investasi di sektor industri pengolahan. Dalam jangka panjang, membuka alternatif pasar baru.

"Selanjutnya negosiasi tarif bea masuk dengan Sri Lanka, Chili, dan lainnya. Butuh waktu hingga bisa direalisasikan ke peningkatan ekspor, karena impor barang konsumsi luar biasa besar ke Indonesia, bukan impor bahan baku," tandas Bhima.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya