Liputan6.com, Cebu - Hari ini 60 tahun silam, tepatnya pada 17 Maret 1957, Presiden Ramon F Magsaysay yang telah merebut hati masyarakat Filipina meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat tragis di Cebu.
Ia mengembuskan napas terakhir di usia yang masih relatif muda yakni 49 tahun.
Advertisement
Lahir pada tanggal 31 Agustus 1907 di Iba, Zambales, Magsaysay terpilih sebagai Presiden ketujuh Filipina pada November 1953. Ia kemudian menjalani masa empat tahun pemerintahannya pada 30 Desember tahun yang sama.
Ramon Magsaysay menjadi sosok yang dicintai masyarakat Filipina karena sikapnya yang rendah hati dan berdedikasi. Ia bahkan tak sungkan membuka gerbang Istana Malacanang untuk masyarakat umum yang ingin berkunjung.
Mengutip arsip Filipina News Agency, akhir tragis kehidupan Ramon bermula saat ia tengah dalam perjalanan menuju kembali ke Manila usai pertemuan dengan tiga lembaga pendidikan di Cebu pada 16 Maret 1957.
Pesawat kepresidenan bernama Mt. Pinatubo yang ditumpanginya jatuh di Gunung Manunggal, Cebu.
Gunung Manunggal adalah lengkungan pegunungan yang melingkari sisi utara Kota Cebu. Puncaknya berada di ketinggian sekitar 3.000 kaki di atas permukaan laut.
Sepuluh menit setelah meninggalkan Cebu, pesawat sang presiden akan melintasi Gunung Manunggal dan terbang menuju dataran tinggi, Balamban.
Tiba-tiba, kapal terbang itu kehilangan kemampuan mempertahankan ketinggian akibat salah satu bagian logam pesawat kendor -- menurut penyelidikan -- tapi kemudian pilot berhasil menguasai keadaan dan terbang normal.
Yang tak disangka, tiba-tiba pesawat dihadapkan dengan pohon raksasa yang berdiri di puncak Gunung Manunggal.
Pesawat mencoba menghindari pohon namun tak sempat dan akhirnya menabraknya. Para penumpang di dalamnya pun terlempar dari kursi, dan pohon itu merobek salah satu satu sayap kapal terbang itu.
Sayap itu ditemukan di dekat kaki pohon. Pesawat itu sendiri berada jauh di bawahnya, sekitar seratus kaki menuruni lereng.
Nestor Mata seorang korban yang selamat menjelaskan bahwa ketika itu rasanya seperti "meluncur menuruni jurang maut hitam". Pesawat kemudian menghujam tanah, lalu meledak dan terbakar.
Api yang begitu besar dengan cepat melelehkan bagian logam dan badan pesawat, namun bagian ekor dan kokpitnya tak menjadi sasaran amuk si jago merah.
Para penumpang yang duduk dekat badan pesawat -- ada sekitar tujuh orang termasuk Presiden Ramon Magsaysay terbakar.
Jenazah Presiden Ramon F Magsaysay berhasil diidentifikasi dari jam tangan dan cincin yang dikenakannya saat itu.
Sekitar 14 jenazah lainnya, yang juga dalam kondisi mengerikan akibat terbakar, terlempar keluar dari pesawat setelah terjadi ledakan. Jasad-jasad itu kemudian tersebar ke bagian bukit yang lebih rendah.
Beberapa meter dari lokasi itu, ditemukan jasad dalam kondisi setengah terbakar.
Dua pilot, Jenderal Benito Ebuen dan Mayor Florencio Pobre, rupanya terlempar ke depan, dalam kondisi masih terikat di kursi mereka menghadap mesin.
Jenderal Benito mengalami patah pada bagian tengkorak, sedangkan Mayor Florencio robek kepalanya.
Seorang petugas keamanan, Mayor Felipe Nunag, selamat dari kecelakaan itu meski terluka di kepala. Ia berhasil merangkak keluar dari reruntuhan dan berupaya menuruni lereng. Perjalanan yang sulit bagi seorang pria yang sedang sekarat sebelum ajal menjemputnya.
Jenazahnya satu di antara yang ditemukan dalam kondisi utuh tak terbakar.
Satu-satunya korban selamat yang masih hidup adalah reporter Nestor Mata dari Herald. Ia beruntung terlempar dari pesawat sesaat setelah kapal terbang itu menghujam tanah.
Saat itu Mata tengah tertidur, ia tersentak bangun oleh percikan cahaya lalu merasa dirinya terbang dan mendengar ledakan memekakkan telinga. Dia kemudian pingsan.
Ketika sadar, posisinya tengah terbaring di bawah pohon-pohon tinggi, di antara puing-puing logam.
Wakil Presiden Magsaysay, Carlos P. Garcia, yang sedang melakukan kunjungan resmi ke Australia pada saat tragedi itu, kemudian menjadi presiden sementara hingga delapan bulan sisa masa pemerintahan Ramon Magsaysay.
Diperkirakan dua juta orang menghadiri pemakaman Magsaysay yang digelar pada 22 Maret 1957 di Manila North Cemetery.
Ramon Magsaysay dikenal aktif dalam melawan ekspansi komunisme di kawasan Asia. Dia membuat Reparation Agreement between the Philippines and Japan (SEATO) yang didirikan di Manila pada September 8, 1954.
Koordinasi aktif Ramon Magsaysay dengan pemerintah Jepang menyebabkan Perjanjian Reparasi antara Filipina dan Negeri Sakura, yang mewajibkan pemerintah Tokyo untuk membayar US $ 550 juta sebagai dana reparasi atas kerusakan perang di Filipina.
Untuk menghormati dan mengenang Ramon Magsaysay, Rockefeller Brothers Fund mendirikan Ramon Magsaysay Award pada 1957.
Tragedi lain terjadi pada tanggal yang sama tahun 1963. Saat itu Gunung Agung meletus dan menewaskan 2.000-an penduduk Bali.
Sementara pada 17 Maret 1969, Golda Meir tercatat menjadi perempuan pertama yang menjabat Perdana Menteri Israel.