Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang telah beroperasi atau masih dibangun telah menggunakan tekonologi yang dapat meminimalisir emisi, sehingga tidak membahayakan kesehatan. Sebelumnya, beberapa lembaga lingkungan menyebutkan bahwa pengoperasian PLTU bisa menyebabkan kematian dini masyarakat.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengungkapkan, saat ini PLTU yang sudah beroperasi, sedang dan akan dibangun telah menggunakan teknologi canggih penangkap karbon dan patikel debu hasil pembakaran. Dengan adanya teknologi tersebut maka emisi yang dihasilkan sangat rendah.
"Semakin canggih PLTU itu, ada sistem namanya carbon capture," kata Made, di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (17/3/2017).
Untuk membuktikan PLTU tidak mengganggu kesehatan, bisa dilihat dari data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada di sekitar PLTU. Karena tidak ada masyarakat yang mengalami gangguan pernapasan akibat emisi PLTU.
"Dari segi kesehatan sudah dibuat untuk mencegah polusi. Data Puskemas bisa dilihat, berapa masyrakat yang sakit karena gangguan pernapasan karena PLTU," tutur Made.
Baca Juga
Advertisement
Made melanjutkan, bukti lainnya adalah kondisi lingkungan di sekitar PLTU, seperti PLTU Suralaya Cilegon Banten. Di wilayah tersebut PLN melakukan penghijuan dan masyarakat memanfaatkannya untuk berwisata.
"PLTU semakin lama, semakin canggih. PLTU Suralaya misalnya yang dibangun tahun 1984 jaman Pak Seharto. Suralaya jadi objek wisata penghijuan semakin besar," tutup Made.
Sebelumnya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andrianu mengatakan, pembakaran batu bara pada PLTU menghasilkan jutaan ton polusi setiap tahunnya. Pembuangan pembakaran batubara tersebut menghasilkan berbagai macam zat kimia berbahaya seperti merkuri, arsenik, timbal, kadmiun dan partikerl halus beracun lain. Zat-zat ini akan bercampur dengan udara yang dihirup oleh masyarakat.
Selain itu, lanjut dia, pembakaran batu bara ini juga memancarkan polutan nitrogen oksida (NOx) dan sulfur oksida (SO2) yang berkontribusi pada pembentukan hujan asam dan polusi PM2,5.
"Polusi PM2,5 ini partikel seperti gas tapi melayang. Kalau PM10 ini seperti debu kecil namun masih tersaring oleh hidung. Sedangkan PM2,5 bisa masuk hingga ke aliran darah. Ini bisa sampai ke keturunannya. Selama puluhan tahun akan numpuk di dalam tubuh," ujar dia di Kantor WALHI, Jakarta, Jumat (17/3/2017).
Bondan menyatakan, polusi udara merupakan penyebab dari 3 juta kematian dini di seluruh dunia. Dan pembakaran batubara merupakan salah satu kontributor terbesar dari polusi ini. Lebih jauh, polusi PM2,5 ini mampu menyebabkan peningkatan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung dan penyakit pernapasan.
"PM2,5 jika terkena ke orang yang punya kolesterol dia akan numpuk di satu titik seperti bisul, akan sebabkan penyakit jantung koroner, stoke karena penyumbatan darah. Tidak heran anak muda kena stroke karena terpapar PM2,5. Seperti di Cirebon keluhannya dari masyarakatnya mayoritas adalah penyakit pernapasan. Kemudian di Cilacap, Indramayu paling tinggi stroke dan jantung," jelas dia.
Bondan menyatakan, polusi udara hasil dari pembakaran batubara di PLTU yang telah beroperasi saat ini menyebabkan kematian dini pada 6.500 jiwa per tahun. Jika proyek 35 ribu MW tersebut terealisasi, diprediksi potensi kematian dini akan meningkat menjadi 15.700 jiwa per tahun di Indonesia dan secara total mencapai 21.200 jiwa per tahun jika termasuk masyarakat di luar Indonesia.
(Pew/Gdn)