Liputan6.com, Jakarta - Grab Indonesia telah angkat bicara terkait revisi PM (Peraturan Menteri Perhubungan) No 32 Tahun 2016 tentang transportasi online.
Meski perusahaan penyedia layanan transportasi online tersebut menyambut baik revisi ini, mereka tetap khawatir akan dampak yang terjadi terhadap pengguna, mitra pengemudi dan bahkan bagi perusahaan sendiri.
Ridzki Kramadibrata, Managing Director Grab Indonesia, mengatakan bahwa revisi yang berbau proteksionis ini menandakan potensi kemunduran bagi Indonesia.
Karena itu, Ridzki yang mewakili Grab, mengungkap tiga poin yang dianggap memberatkan. Grab meminta pemerintah agar dapat mempertimbangkan keputusan final sebelum akhirnya revisi diberlakukan.
Baca Juga
Advertisement
“Poin pertama adalah penetapan tarif atas dan bawah. Kami percaya mekanisme penetapan tarif yang fleksibel berdasarkan kebutuhan pasar merupakan pendekatan yang efisien,” kata Ridzki saat konferensi pers yang diadakan di kantor Grab, Lippo Building, Jakarta, Jumat (17/3/2017).
Menurut Ridzki, harga yang ditetapkan penyedia layanan transportasi online saat ini lebih responsif untuk kebutuhan pasar. Karena itu, penerapan tarif atas bawah untuk transportasi online dirasa menjadi intervensi terhadap mekanisme harga, sehingga konsumen mau tak mau akan membayar lebih dari yang mereka butuhkan.
“Jika pembatasan tarif dilakukan, banyak orang yang menggunakan Grab saat ini tidak akan mampu lagi. Di sisi lain, saat terjadi keterbatasan suplai, mitra pengemudi tidak akan mendapatkan kompensasi yang adil. Jadinya, semakin sedikit mitra pengemudi yang mengambil pesanan. Pasar terganggu dan semua merugi,” jelasnya.
Poin berikutnya, lanjut Ridzki, adalah kuota kendaraan. Grab juga khawatir dengan revisi penetapan kuota transportasi online. Dengan diberlakukan pembatasan kuota, akses masyarakat terhadap transportasi online akan semakin terbatas. Akibatnya, tranportasi konvensional lebih untung dan kompetisi antara transportasi online dan konvensional akan mati.
“Buruknya lagi, ‘mati’-nya kompetisi ini akan mengancam kelangsungan hidup ratusan ribu mitra pengemudi kami,” tandas Ridzki.
Dan yang terakhir adalah poin nama STNK. Poin ini diklaim menjadi kekhawatiran perusahaan yang paling besar. Seperti diketahui, poin menekankan usulan perubahan yang mewajibkan STNK atas nama badan hukum (PT atau koperasi).
“Poin tersebut sangat memberatkan mitra pengemudi Grab. Kerja keras mereka terancam karena tidak lagi memiliki kesempatan untuk bisa memiliki kendaraan sendiri kelak. Ini sangat bertentangan dengan prinsip koperasi itu sendiri, dan juga bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan,” sambungnya.
Grab kini hanya bisa meminta pemerintah untuk mengkaji kembali revisi terkait. Pihaknya juga meminta pemerintah untuk memperpanjang masa tenggang PM 32 hingga 9 bulan agar dampaknya bisa dilihat.
"Jangan kembali ke belakang, jangan mundur. Kami mendesak pemerintah untuk memperpanjag masa tenggang dan mempertimbangkan dampak dari revisi tersebut,” pungkas Ridzki.
(Jek/Ysl)