Penolakan Pabrik Semen Rembang Bisa Rusak Iklim Investasi

Jangan sampai bentuk aksi penolakan terhadap keberadaan pabrik semen di Rembang ini justru menggagalkan sebuah proses investasi.

oleh Septian Deny diperbarui 20 Mar 2017, 09:44 WIB
Pekerja melintasi pintu masuk pabrik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah, Kamis (16/3). Tahapan pembangunan pabrik semen yang dibangun di atas seluas 57 hektare tersebut telah mencapai 96,63 persen. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, terjadinya penyegelan pabrik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang oleh para penolak pabrik semen akan berimplikasi negatif terhadap dunia usaha dan investasi di Jawa Tengah. Padahal, pengoperasian fasilitas produksi semen ini akan menjadi salah satu cara untuk merealisasikan rencana semen satu harga sesuai dengan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Airlangga mengungkapkan jangan sampai berbagai macam bentuk aksi penolakan terhadap keberadaan pabrik semen di Rembang ini justru menggagalkan sebuah proses investasi yang diketahui sah secara hukum dan sudah mengantongi izin.

“Keberadaan PT Semen Indonesia di Rembang perlu dikelola, agar investasi sejumlah Rp 4 triliun tidak mubadzir,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (20/3/2017).

Jika proses investasi yang sah secara hukum dan mengantongi izin ini digagalkan, maka bisa membahayakan iklim berinvestasi di Jawa Tengah.

‎Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, pihaknya terus berupaya memacu daya saing industri semen nasional. Antara lain dengan mengendalikan impor semen maupun klinker, mendorong diversifikasi produk barang-barang dari semen, serta penerapan dan penegakan Standar Nasional Indonesia (SNI) semen secara wajib maupun pengembangannya.

“Selain itu, kami juga meminta kepada pelaku industri semen di dalam negeri agar terus membangun budaya inovasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitif di tengah persaingan yang semakin ketat baik di tingkat regional maupun internasional,” kata dia.

Menurut Achmad, inovasi tersebut akan menjadi keuntungan bagi perusahaan agar menjadi lebih efisien terutama dalam mengatasi kelebihan kapasitas produksi semen dalam negeri, yang sejak 2015 mencapai 25 persen dari kebutuhan.

“Industri semen diharapkan dapat melakukan transformasi sesuai dengan perkembangan teknologi Industri 4.0 yang dapat diterapkan secara bertahap,” lanjut dia.‎

Menurut dia, maraknya pembangunan perumahan dan properti juga menjadi faktor meningkatnya permintaan semen. Bahkan untuk mengukur suatu negara terbangun atau tidak dapat dilihat dari pertumbuhan industri semennya.

“Sekitar 80 persen konsumsi semen digunakan oleh masyarakat. Kalau industri semen di negara tumbuh, maka pembangunan di dalam negeri juga pasti tumbuh, begitu gampangnya," ungkap dia.

‎Sebelumnya Pengamat Kebijakan Publik Djuni Thamrin mengatakan, saat ini pangsa pasar semen di dalam negeri masih dikuasai oleh pihak swasta. Dengan demikian, sulit ‎bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap harga jual semen di seluruh dunia.

‎"Dalam hal ini (pangsa pasar), 36 persen BUMN, swastanya 54 persen. Kalau Semen Rembang masuk, ini bisa 50:50," kata Djuni.

Dia mengungkapkan, jika pabrik semen milik PT Semen Indonesia ini tidak bisa beroperasi secara maksimal lantaran ada gangguan dari pihak lain, maka suplai semen untuk kebutuhan nasional akan terganggu. Dampaknya, rencana semen satu harga akan sulit untuk tercapai.

"Ini tidak akan tercapai. Harga ini terkait dengan supply dan demand," tutur dia.

Sementara terkait dengan munculnya penolakan masyarakat terhadap pengoperasian pabrik semen ini, Djuni justru mempertanyakan dasar dari penolakan tersebut. Sebab, jika berkaitan dengan kelestarian lingkungan‎, selama ini area yang akan dimanfaatkan untuk pabrik semen telah bertahun-tahun dieksploitasi oleh perusahaan swasta yang hanya berbekal izin galian C.

‎"Ada fakta, di wilayah yang bakal ditambang Semen Indonesia di Rembang itu, jauh sebelumnya sudah lebih dulu ada perusahaan-perusahaan swasta berbekal izin galian C yang menambang batu kapur. Kenapa mereka tetap bisa beroperasi sampai sekarang‎?," tandas dia. (Dny/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya