Liputan6.com, Jakarta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan fenomena equinox terjadi antara 20-21 Maret. Suhu permukaan bumi diperkirakan meningkat akibat fenomena dua tahunan itu, namun masyarakat diimbau tak perlu khawatir.
"BMKG mengimbau masyarakat untuk tidak perlu menghawatirkan dampak dari equinox, sebagaimana disebutkan dalam isu yang berkembang," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG Yunus S Swarinoto kepada Liputan6.com, Senin 20 Maret 2017.
Advertisement
Kendati, kata Yunus, masyarakat diharapkan tetap mengantisipasi kondisi cuaca yang cukup panas, dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan tetap menjaga kesehatan keluarga serta lingkungan.
Yunus menjelaskan, fenomena equinox bukan merupakan fenomena seperti Heat Wave atau gelombang panas, yang dapat terjadi di belahan bumi lainnya seperti Afrika dan Timur Tengah.
"(Bukan fenomena) yang dapat menyebabkan peningkatan suhu secara ekstrem dalam kondisi yang cukup lama," dia menandaskan.
Yunus menyebutkan fenomena equinox dapat menyebabkan distribusi cahaya matahari relatif lebih signifikan di sekitar ekuator (khatulistiwa). Sehingga kondisi permukaan bumi relatif lebih panas daripada biasanya dapat terjadi.
Akan tetapi, kata Yunus, peningkatan suhu permukaan bumi tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Itu karena kondisinya masih dalam batas yang normal dan biasa. Tidak mengakibatkan peningkatan suhu udara drastis dan ekstrem.
"Suhu rata-rata di wilayah Indonesia saat periode equinox berkisar 32-36 derajat Celsius. Dan itu tergantung pada kondisi cuaca. Jika banyak awan, maka suhu maksimumnya relatif tidak terlalu panas," ujar dia.
Equinox merupakan salah satu fenomena astronomi, di mana posisi semu matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa. Peristiwa equinox merupakan peristiwa alami yang terjadi dua kali dalam setahun, yaitu sekitar 20-21 Maret dan 22-23 September.