Liputan6.com, Jakarta - Menyusul dinamika dan polemik tentang kehadiran transportasi online berbasis aplikasi di Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan teknologi digital merupakan keniscayaan.
Namun, ia tak memungkiri kehadiran teknologi digital yang juga terjadi pada berbagai bidang itu memiliki dinamika tersendiri.
Karenanya, pemerintah berusaha untuk mengatasi dinamika yang ada dengan mengeluarkan revisi Peraturan Menteri (PM) 32 tahun 2016. Rudiantara mengatakan, revisi dilakukan bukan untuk mencegah beroperasinya layanan transportasi online di Indonesia.
Menurut pria yang akrab dipanggil Chief RA tersebut, revisi sebenarnya dilakukan untuk mengukuhkan layanan transportasi online berbasis aplikasi dapat beroperasi secara legal di Indonesia dan ditata keberadaannya.
Baca Juga
Advertisement
"Dengan adanya PM 32/2016 ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan, keselamatan, dan keamanan. Selain itu, tidak lagi terjadi gesekan antara transportasi online dengan konvesional," ujarnya saat konferensi pers sosialisasi Peraturan Menteri (PM) 32/2016 di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Untuk diketahui, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Dirjen Perhubungan Darat, per 1 April 2017 mulai menerapkan revisi Peraturan Menteri (PM) No 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
PM ini sebelumnya telah disosialisasikan selama enam bulan dan akan habis masa sosialisasinya pada akhir Maret 2017. Ketiga penyedia layanan aplikasi transportasi, seperti Grab, Uber, dan Go-Jek juga mengapresiasi langkah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merevisi aturan yang dimaksud.
Kendati demikian, masih ada beberapa poin yang menjadi perhatian dari ketiga perusahaan tersebut. Salah satunya adalah kesepakatan mematuhi peraturan uji berkala kendaraan (KIR) demi kenyamanan dan keselamatan. Ketiganya berharap pemerintah memberikan dukungan berupa penyediaan fasilitas uji KIR.
Menyoal rencana pembatasan kuota jumlah kendaraan, ketiganya juga sepakat regulasi itu tidak sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan berbasis teknologi.
Ketiganya menganggap, kuota kendaraan berbasis aplikasi maupun konvensional tak perlu dibatasi. Hal itu dinilai akan menghadirkan iklim bisnis yang tidak kompetitif serta mempersempit pilihan masyarakat dalam bidang transportasi.
(Dam/Isk)