Liputan6.com, Jakarta - Seorang peserta aksi semen kaki bernama Patmi (48) meninggal dunia. Petani asal Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, itu meninggal karena serangan jantung.
Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengaku sudah mendengar kabar meninggalnya Patmi yang turut dalam aksi semen kaki di depan Istana Kepresidenan, Jakarta.
Advertisement
"Tim saya sudah bantu urus ya. Berdukacita, jantung ya, kemungkinan juga faktor capek," kata Teten di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Para petani sudah bertemu Teten, Senin kemarin. Mereka juga langsung dipertemukan dengan pihak PT Semen Indonesia untuk mencari solusi bersama. Namun, butuh waktu untuk benar-benar mencari solusi terbaik karena harus menunggu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Usai pertemuan itu, Teten mengimbau para petani untuk menghentikan aksi mereka. Silakan saja menyampaikan pendapat, tapi tidak dengan cara-cara yang membahayakan diri.
"Jadi kemarin, kita kan sudah ngobrol sama mereka, tuntutan mereka sudah kita rekomendasikan. Mudah-mudahan ini hasil KLHS akan selesai akhir Maret, mungkin nanti jadi rujukanlah. Tapi akan bicarakan terus sama Kementerian Lingkungan Hidup, BUMN, dan pemerintah daerah," jelas dia.
Pemerintah, menurut Teten, tidak melarang adanya unjuk rasa petani Kendeng untuk menyampaikan pendapat. Hanya saja, aksi juga harus memperhatikan kesehatan dan tidak membahayakan.
Pemerintah bisa saja menghentikan aksi yang sudah masuk dalam kategori membahayakan. Misalnya, adanya aksi naik gedung tinggi dan mengancam bunuh diri. Pemerintah bisa menghentikan itu.
"Kita sekarang kan hanya bisa mengimbau kalau aksi-aksi enggak usah melakukan tindakan yang membahayakan. Walaupun ini kan jantung ya, enggak ada kaitan dengan itu (aksi semen kaki)," pungkas Teten.
Koordinator Aksi Harus Tanggung Jawab
Sementara itu, praktisi hukum Achmad Michdan menilai, meninggalnya salah seorang peserta aksi cor kaki tolak pabrik semen tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus ada yang bertanggungjawab.
Michdan berpendapat, yang paling bertanggungjawab adalah koordinator dan otak penggerak di balik ide aksi cor kaki tolak pabrik semen.
"Sekarang kan siapa yang bawa masyarakat untuk ikut aksi cor kaki tolak pabrik semen. Kemudian siapa yang punya ide mengecor kaki dengan semen dan menyuruh masyarakat melakukannya, koordinatornya dong yang paling tanggungjawab. Bisa saja korban dalam kondisi tidak fit kan," ujar Michdan.
Terkait itu, Michdan meminta agar pihak kepolisian segera bertindak sesuai kewenangannya guna mengusut di balik meninggalnya salah seorang peserta unjuk rasa cor kaki tolak pabrik semen.
"Polisi berwenang melakukan tindakan penyelidikan, perlu melakukan pengusutan, apakah meninggalnya salah seorang masyarakat yang mengecor kakinya wajar atau tidak," tutur Michdan.
Apalagi secara ilmiah, menurut Michdan, aksi mengecor kaki merupakan hal yang amat tidak rasional. Dengan begitu polisi harus mengusut terkait daya tahan fisik korban hingga awal mula dilakukannya aksi cor kaki.
"Itu di luar kelaziman khan, tidak wajar. Polisi harus periksa fisik korban dan meminta keterangan peserta unjuk rasa yang lainnya bagaimana kondisi korban serta bisa terlibat aksi cor kaki," ungkap Michdan.
Michdan berpendapat, jika memang keberadaan pabrik semen dianggap merusak lingkungan, maka pemerintah pusat dan daerah diminta melakukan audit terhadap hal itu.
"Seperti penolakan keberadaan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang (Semen Rembang), di Jawa Tengah, itu punya BUMN yang otomatis modal negara. Sudah ada 12 pakar lingkungan yang menyatakan amdalnya layak, jadi bukan terjadi secara sporadis," tutur Michdan.
Advertisement