Liputan6.com, Jakarta - "Kita semua pasti akan mati, cuman kita bisa memilih jalan mana yang kita lalui, mencintai ibu Pertiwi atau mendurhakai ibu pertiwi," teriak Koko dengan suara serak menahan tangis di kantor LBH Jakarta.
Koko, salah satu aktivis dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menangisi kepergian Patmi (48), seorang petani dari Pati, Jawa Tengah yang menyemen kaki di depan Istana. Patmi, meninggal dunia karena serangan jantung usai cor di kakinya dilepas, Selasa 21 Maret 2017 dini hari.
Advertisement
"Bu Patmi adalah seorang pejuang perempuan, dari pegunungan Kendeng Utara. Patmi adalah Fatma yang artinya bunga, semoga dengan ini (meninggalnya Patmi) bunga-bunga perjuangan lainnya mekar, Patmi-Patmi lainnya siap berjuang dan melawan," teriak Koko sembari mengepalkan tangan kanannya ke udara.
Para petani dari sekitaran pegunungan Kendeng ini menolak pendirian pabrik Semen. Sebab, akan merusak alam. Mereka juga sudah memenangkan putusan pengadilan Mahkamah Agung yang memerintahkan izin pembangunan pabrik dicabut.
Patmi, ibu dua anak itu sudah 5 hari membenamkan kakinya di kotak kayu berisi coran semen. Nenek satu cucu itu meninggal usai membersihkan diri di kamar mandi. Kepala Divisi Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyebut, Patmi sempat berteriak kesakitan dan memegangi dada kirinya.
"Ia muntah-muntah dan langsung jatuh," terang Isnur.
Patmi merupakan satu dari puluhan warga Kendeng yang melakukan aksi penolakan pabrik semen dengan mengecor semen di kakinya. Lima hari sudah kaki Patmi terbenam dalam kotak berisi semen.
Awalnya, aksi mengecor kaki ini dilakukan sejumlah warga Kendeng, Jawa Tengah pada, Senin 13 Maret 2017. Aksi ini sebagai bentuk protes warga atas keputusan pemerintah yang tetap mengoperasikan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang dan di wilayah Pengunungan Kendeng, Jawa Tengah, meski putusan Mahkamah Agung sudah membatalkan izin pendiriannya.
Peserta aksi semen kaki ini mulai duduk dan berdiri di luar pagar Monas dari siang sampai sore, dengan fasilitas sanitasi lapangan dan peneduh. Pada sore hari, peserta aksi beristirahat dan menginap di YLBHI jalan Diponegoro Jakarta.
Kemudian, pada Kamis, 16 Maret 2017, ada 55 warga dari Kabuputen Pati dan Rembang menyusul bergabung dengan para peserta aksi sebelumnya. Dari 55 warga ini, hanya 20 orang yang mengecor kakinya, termasuk Patmi. Kedatangannya tanpa paksaan bersama kakak dan adiknya dengan seizin suaminya.
Namun, pada Senin, 20 Maret 2017, perwakilan warga bertemu Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki untuk berdialog di dalam kantor Staf Presiden.
Sayangnya, mereka tak puas dengan jawaban dan janji Teten. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut, pertemuan tersebut hanya basa basi saja. Tanpa ada ketegasan.
"Kami kecewa dengan pertemuan bersama KSP itu. Kami geram dan kecewa dengan Jokowi hanya untuk menertibkan satu gubernur (Ganjar Pranowo) saja tak sanggup," kata Dewi.
Menurut Dewi, Presiden tak berkutik saat seorang Gubernur kembali mengeluarkan izin. Padahal, sebelumnya putusan Mahkamah Agung RI membatalkan semua izin pabrik semen tersebut.
"Kami geram pada Jokowi, karena tak bertindak tegas dalam kasus Rembang. Kami kecewa, tak ada ketegasan dari Jokowi," kata Dewi.
Mewakili berbagai aktivis dan para petani di sana. Dewi menyebut, kematian Patmi adalah lecutan dan pembakar semangat bagi warga Pati dan sekitarnya untuk melawan kebijakan pemerintah, yang ingin mengeruk sumber daya alam kampungnya.
"Bu Patmi sudah meninggal, tapi ini bukan akhir perjuangan Kendeng, petani Jawa Tengah tetap akan memperjuangkan kampungnya, rumahnya, dan lahan taninya," kata Dewi diiringi teriakan 'Kendeng Lestari' dari aktivis yang hadir di kantor LBH Jakarta.