Liputan6.com, Brebes - Masyarakat adat di Indonesia masih terus bertahan di tengah kemajuan zaman. Di era Facebook ini, masih banyak komunitas adat yang menggenggam kukuh budaya peninggalan leluhur. Salah satunya komunitas di kampung budaya Jalawastu, Desa Ciseureuh, Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah.
Kehidupan mereka pun bisa dikatakan masih terisolasi dari masyarakat modern. Tapi mereka tidak menutup pintu untuk kunjungan dari luar. Saat ini kunjungan ke komunitas kampung pedukuhan Jawalastu menjadi salah satu agenda wisata.
Di kampung budaya Jawalastu, masyarakatnya dari etnis Jawa namun menggunakan bahasa Sunda. Yang unik, dialeknya Brebesan atau ngapak. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.
Baca Juga
Advertisement
Masyarakat di pedukuhan yang letaknya berada sekitar 70 kilometer dari pusat kota Brebes ini masih memegang teguh tradisi yang mereka anut. Salah satunya pantangan membangun rumah dengan menggunakan semen, keramik, dan genteng. Pasalnya, pantangan itu sudah diyakini oleh masyarakat setempat selama ratusan tahun secara turun temurun.
Jika pertama kali seseorang memasuki kampung Jalawastu, pandangan mata akan tertuju pada deretan rumah di perbukitan itu berdiri tak beraturan. Sejumlah warga asyik bercengkrama di teras rumah yang terbuat dari kayu dan batu tersebut.
Untuk menuju kampung ini, harus melewati jalan bebatuan yang menanjak dan menurun karena daerah pegunungan. Selain jalan bebatuan, jalan juga becek karena belum tertutup aspal.
Jalan yang sempit hanya sekitar 2 meter dan di kanan kiri jurang serta tebing tinggi menuntut pengguna jalan waspada. Apalagi, saat musim hujan yang rawan longsor.
Sampai di kampung ini, papan nama Kampung Budaya Jalawastu menyambut tamu dari luar. Pemandangan nan hijau dengan udara segar sangat terasa di kampung tersebut. Sekilas, memang suasana perkampungan itu tidak jauh berbeda dengan desa-desa terpencil di daerah lain di Brebes.
Rumah Tanpa Semen
Menurut pemangku adat desa setempat, Dastam (54), masyarakat meyakini membangun rumah tanpa menggunakan semen dan keramik bisa mencegah terjadinya bencana longsor. Mengingat, desa tersebut terletak di perbukitan bernama gunung kumbang. Alasan lainnya terkait dengan letak geografis DukuhJalawastu, yang jauh dari peradaban.
"Jadi dulu semen dan keramik itu salah satu barang yang wah, lalu belinya juga jauh, mengangkutnya susah. Maka orang sini akhirnya menyebut udah pamali (jarang sekali) gitu aja," ucap Dastam, Senin 20 Maret 2017.
Ia pun bercerita asal muasal tradisi leluhurnya. Zaman dulu itu pembuat genting tinggal jauh dari rumah warga dan belum ada kendaraan. Untuk membawa genting harus dipikul dan berjalan puluhan hingga ratusan kilometer.
Oleh karena itu, karena dulu banyak tanaman alang-alang, jadi untuk atap rumah memakai tanaman tersebut.
Menurutnya, tanaman alang-alang membikin nyaman lantaran saat musim panas, rumah tidak terasa panas, dan saat musim dingin bisa membuat rumah jadi hangat. Kemudian, saat ini, kata dia, warga ada yang sudah memakai seng.
"Hanya saja, seng berisik kalau musim hujan turun," katanya.
Kayu yang mereka gunakan untuk membangun rumah juga bukan sembarang kayu. Ada dua jenis kayu yang mereka pakai, yaitu Kayu Cangcaratan dan Kayu Kitambaga.
Dua kayu tersebut termasuk kayu yang kuat, anti air dan tidak mudah lapuk. Selain itu, dua kayu jenis tersebut mudah didapatkan di sekitar Dukuh jalawastu.
"Ya memang harus selektif, boleh ditebang tapi syaratnya untuk membangun rumah sendiri. Tidak boleh untuk dijual," katanya.
Hingga saat ini, kata Dastam, di kampung yang dihuni oleh 350 jiwa dan 120 keluarga ini rumah-rumahnya tanpa menggunakan bahan semen dan keramik.
Di desa tersebut kita juga tidak bisa menemukan genteng untuk atap rumah. Mereka menggunakan seng untuk menutupi bagian atas rumah. Menurut Dastam, genteng juga termasuk salah satu benda yang sulit didapatkan. Warga saat itu menggunakan jerami untuk atap rumah. Sebab, jerami cukup menghangatkan saat malam hari.
"Nah sekarang, sudah tidak pakai jerami lagi, dan diganti seng. Karena seng fungsinya hampir mirip dengan jerami," jelasnya.
Di sana banyak ditemukan kamar mandi satu rumah yang tidak terbuat dari porselen yang biasa dipasang di dalam kamar mandi. Kloset terbuat dari kayu yang dibentuk serupa dengan kloset porselen.
"Porselen, keramik, semen, batu bata, genting, memang merupakan pantangan bagi warga Jalawastu. Kalau besi masih boleh," jelasnya.
Advertisement
Pantangan Unik Jalawastu
Tak hanya itu, masyarakat sekitar juga dilarang mementaskan wayang, memelihara angsa, domba, dan kerbau, serta menanam bawang merah. Mementaskan wayang, menurut Dastam, tidak diperbolehkan lantaran berkaitan dengan memainkan peran manusia.
Sedangkan memelihara hewan tertentu dilarang karena dianggap mengotori lingkungan. "Ya kalau larangan menanam bawang merah itu karena di sini lahannya tidak cocok, daripada merugikan," kata Dastam.
Hal itu pun diamini sejumlah warga kampung setempat. Carmi (51) mengaku tidak berani melanggar pantangan-pantangan tersebut. Sebab, kata dia, pada sekitar tahun 2000 lalu ada seseorang yang mencoba melanggar salah satu pantangan tersebut, lalu timbul bencana.
"Waktu itu ada warga yang melanggar dan tak lama berselang terjadi bencana longsor," ucap Carmi. Ia menambahkan, warga yang ingin membangun rumah menggunakan semen, diperbolehkan asalkan pindah ke kampung sebelah.
Selain itu, kata dia, ada juga mitos Dayeuh Lemah Kaputihan. Mitos ini merupakan mitos yang berkembang pada masyarakat kampung Jalawastu yang berarti tanah suci tempat tinggal para dewa dan wali, sehingga tidak boleh berkata dan berperilaku kotor.
"Menurut sejarahnya, memang mitos Dayeuh Lemah Kaputihan lahir saat zaman Hindu saat Ragawijaya bertapa di Gunung Sagara. Mitos ini berisi sejumlah pantangan, yakni, pantangan menggunakan genteng, batu-bata dan semen ketika membuat sebuah bangunan, pantangan memelihara angsa, kerbau dan kambing gimbas, pantangan menanam bawang dan kacang tanah," ungkapnya.
Masyarakat di kampung Jalawastu di sana masig sering kali menggelar tradisi Ngaguyang Kuwu untuk memohon turunnya hujan. "Ngaguyang Kuwu ini memang biasa digelar ketika musim kemarau tak menunjukkan tanda-tanda berakhir," jelasnya.