Liputan6.com, New York - Harga minyak melemah ke level terendah sejak November 2016. Tekanan harga minyak terjadi lantaran data menunjukkan pasokan minyak Amerika Serikat (AS) meningkat lebih cepat dari yang diharapkan.
Hal itu membuat keraguan mengenai kelangsungan langkah negara pengekspor minyak tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk memangkas produksi minyak.
The Energy Information Administration (EIA) menyatakan, pasokan minyak AS naik hampir 5 juta per barel menjadi 533,1 juta pada pekan lalu. Ini di atas perkiraan sekitar 2,8 juta barel.
"Pasokan naik hampir 55 juta barel pada tahun ini. Ini menghadapi langkah OPEC yang pangkas produksi. Dengan kenaikan pasokan dapat mempengaruhi kelangsungan kesepakatan OPEC untuk pangkas produksi," ujar Jim Ritterbusch, Pimpinan Ritterbush and Associates seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (23/3/2017).
Baca Juga
Advertisement
Harga minyak Brent merosot 0,6 persen ke level US$ 50,64 per barel. Harga minyak itu terendah sejak 30 November. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei melemah 20 sen atau 0,40 persen ke level US$ 48,04 per barel.
Kesepakatan antara OPEC dan negara produsen minyak non OPEC untuk pangkas produksi minyak 1,8 juta barel per hari sedikit menurunkan pasokan global.
"OPEC telah menggunakan sejumlah cara untuk mendukung pasar. Mereka pun patuh untuk pangkas produksi minyak, dan berjuang untuk itu," tutur Ole Hansen, Kepala Riset Saxo Bank, Ole Hansen.
Namun, pasar hadapi tantangan dari pasokan minyak AS bertambah. Produsen minyak AS menambahkan rig sehingga meningkatkan produksi minyak secara mingguan sekitar 9,1 juta barel per hari.
"Intervensi pasar oleh OPEC belum menghasilkan signifikan, dan pasar keuangan sudah kehilangan kesabaran," tulis laporan US Bank Jefferies.
Lebih lanjut dalam laporan itu menulis kalau OPEC akan perpanjang kurangi pasokan maka harga dapat kembali di atas US$ 60 pada kuartal IV. Namun, produksi minyak AS akan tumbuh 360 ribu barel per hari pada 2017.