Jamu, Jamu...Begini Geliat Kampung Jamu Semarang

Kampung Jamu di Semarang sukses, berawal dari memberdayakan ibu-ibu. Perekonomian pun menggeliat.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 23 Mar 2017, 16:30 WIB
Patung jamu gendong akan menyambut pengunjung memasuki kampung jamu Sumbersari Wonolopo, Mijen. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Semarang - Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menerapkan model kampung tematik untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Tiap kampung yang diajukan harus mengusung tema tertentu.

Maka muncul aneka kampung di Semarang. Mulai dari Kampung Anggrek, yang mayoritas warganya bertani anggrek, Kampung Kuliner yang memproduksi aneka makanan khas Semarang, Kampung Ramah Anak yang memiliki fasilitas permainan anak lengkap.

Ada juga Kampung Jowo di mana warganya dalam kehidupan sehari-hari mengenakan busana Jawa dan bertutur Jawa. Selain itu masih banyak kampung-kampung tematik lain.

Salah satu kampung tematik adalah Kampung Jamu. Kampung Jamu berada di Desa Wumbersari, Wonolopo Kecamatan Mijen dan Desa Ngadirgo Kecamatan Mijen.

Di dua kampung itu mayoritas warganya adalah pembuat dan penjaja jamu tradisional di Semarang. Di Desa Wonopolo, terdapat 50 orang pengrajin jamu tradisional, sementara di Desa Ngadirgo ada 25 orang.

Jamu itu mereka jajakan dengan cara digendong. Belakangan mengalami perkembangan, karena ada penjual jamu yang menjajakan dagangannya dengan sepeda atau sepeda motor.

Menurut Ketua Paguyuban Jamu Gendong Sumber Husodo Wonolopo, Kholidi, pemilihan usaha jamu gendong di kampungnya karena terbukti telah membawa manfaat. Salah satunya lingkungan yang tertata dan jalanan berpaving bersih, merupakan swadaya warga, para penjual jamu itu.

"Awalnya kan karena ibu-ibu banyak yang menganggur ketika suaminya bekerja. Kemudian mereka mencoba berdagang jamu gendong, ternyata hasilnya luar biasa. Bahkan akhirnya menjadi penopang utama kampung," kata Kholidi.

Menyiapkan jamu untuk pelanggan. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Sebagai Kampung Jamu, Ngadirgo dan Wonolopo tidaklah hanya menjadi penjual saja. mereka juga menjadi produsen sejak dari hulu. Berbagai tanaman bahan jamu ditanam di pekarangan warga. Mulai dari temu lawak, kunyit, daun pepaya dan manjakani, cabe, lempuyang dan beberapa bahan lagi, ditanam sendiri oleh warga maupun oleh kampung tetangga.

Omzet penjualan mereka per hari mencengangkan, ada yang bisa mencapai 50 kilogram. Namun banyak pula yang memiliki omzet 10 kg perhari. Setiap hari, ibu-ibu penjaja jamu ini bisa membawa 15-20 liter jamu gendong.

"Belakangan ada perkembangan model jualan, yakni ada yang memanfaatkan sepeda, ada pula yang menggunakan sepeda motor. Bagi yang memakai motor bisa sampai 70 liter. Mereka membawa aneka jamu seperti beras kencur, gula asem, cabe puyang, daun pepaya, kunyit, manjakani, brotowali dan lainnya," kata Kholidi.


Jalan Pedang Jamu

Tanaman bahan jamu seperti kunyit, kapulogo, serai dan lain-lain ditanam di kebun warga. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Untuk penjaja jamu dari Ngadirgo, bisa diwakili oleh Suhanah. Perempuan berusia hampir setengah abad ini berjualan jamu gendong sudah sejak tigapuluhan tahun lalu. Diawali ketika ia bekerja membantu peracik dan pembuat Jamu Gendong bernama mbok rebi di Solo.

Ketika membantu mbok Rebi itulah Suhanah diajari cara meracik jamu. Bukan hanya mendapat ilmu meracik, namun juga strategi berdagang jamu gendong. Menurut Suhanah, kunci utamanya adalah jujur dengan konsumen. Artinya tidak ada campuran zat kimia dalam jamunya. Jika itu dilakukan, manfaat jamu akan terasa dan konsumen percaya.

"Saya jualan jamu modal awalnya sepuluh ribu rupiah. Itu saya gunakan belanja bahan jamu dan peralatan seadanya. Saya bikin sendiri, meracik sendiri," kata Suhanah.

Kesehariannya, warga Kampung Jamu sudah sibuk sejak dini hari. Di waktu tiga per empat malam itu, Suhanah sudah memulai rutinitasnya. Ternyata, meracik jamu gendong tak bisa sembarangan dan memerlukan ketelatenan khusus. Bahan-bahan meracik jamu, seperti kunyit, kencur, jahe, cabe puyang, kayu pepet, asam jawa, dan sambiroto diproses dengan telaten.

Perlakuan khusus juga kadang diberikan pada bahan itu, misalnya jenis rimpang yang selalu harus diangin-anginkan. Beberapa yang lain, ada pula yang harus disimpan dalam tempat kedap udara atau bahkan diproses ketika masih segar.

Seluruh proses itu diawali dari merebus air. Air? Ya air, karena seluruh proses itu memerlukan banyak air panas. Sambil menunggu air mendidih, biasanya bahan yang tersedia ditumbuk menggunakan lumpang.

"Bisa saja menggunakan blender, namun cita rasanya jelas berubah. Entahlah. Saya pernah coba pakai blender, tapi rasa beda. Tidak enak," kata Suhanah.

Bahan yang sudah ditumbuk, kemudian diperas untuk diambil sarinya. Proses memeras ini ketika bahan sudah tak mengeluarkan cairan, dibantu dengan air panas. Baru kemudian perasan itu direbus, dicampur dengan Gula Jawa, atau bahan lain menyesuaikan kebutuhan.

Agak ribet ketika rebusan sudah jadi, harus segera dimasukkan ke dalam botol kaca yang sudah diberi garam. Saat ini banyak sekali yang menggunakan botol plastik sebagai tempatnya. Menurut Suhanah itu berbahaya.

Kesibukan meracik jamu sudah dilakukan sejak dinihari. (foto : Liputan6.com / edhie Prayitno Ige)

"Itu bisa merusak kualitas jamu dan menimbulkan penyakit akibat reaksi kimia. Jamu itu bikin orang sehat, bukan malah penyakitan," kata Suhanah.

Setiap hari, Suhanah membawa minimal 14 botol jamu yang dimasukkan dalam sebuah bakul dan digendong. Yang paling laris adalah jenis Beras Kencur dan Kunyit Asam. Karenanya dua jenis jamu itu mendominasi hingga separuh dagangannya. Selain itu ia membawa pula jamu Cabe Puyang, Sambiroto, Daun Sirih, Pahitan (daun pepaya dan Brotowali).

"Untuk kunyit asam saya baya pakai jerigen. Ibu-ibu muda sangat butuh dan sangat senang itu. Saya biasanya berjualan di kampung Sidodadi. Jadi sudah ada pembagian wilayah dengan penjual jamu gendong lain," kata Suhanah.

Segelas jamu gendong dihargai Rp 2 ribu. Dalam sehari omzet Suhanah bisa mencapai RP 150 ribu. Uang itu kemudian dibelanjakan bahan-bahan pembuat jamu yang masih segar.

Untuk menjaga regenerasi, kini Ina anak Suhanah siap melanjutkan usaha jamu gendongnya. Suhanah sudah menularkan ilmu meracik jamu kepada Ina, dan berharap jika kelak ia sudah tidak kuat berjualan lagi, Ina lah yang akan meneruskan.

"Pinginnya, jamu gendong ini bisa terus ada," kata. Suhanah

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menyebutkan bahwa dengan branding sebagai Kampung Jamu, diharapkan akan menghilangkan kompetisi atau persaingan tidak sehat. Upaya itu sudah sukses. 

"Selain produknya, jika nanti sudah jadi branding yang kuat, semua bisa menjadi desa wisata. Semua akan menarik untuk dikunjungi. Ini pembangunan berbasis kerakyataan. Pemerintah memfasilitasi passion yang ada di masyarakat," kata Hendi kepada Liputan6.com, Kamis (23/3/2017).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya