4 Alasan PSI Tolak Anggota KPU dari Unsur Parpol

Grace menjelaskan, DPR menabrak amanat UUD 1945 Pasal 22E ayat 5 tentang kemandirian anggota KPU.

oleh Djibril Muhammad diperbarui 27 Mar 2017, 06:11 WIB
Grance Natalie (Johan Tallo/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak dengan tegas wacana anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat boleh berasal dari unsur partai politik (parpol). Dasar pemahamannya adalah praktik demokrasi bukanlah menu yang bisa diimpor dari satu negara ke negara yang lain.

"Demokrasi selalu mengalami penyesuaian dan diperdebatkan, karenanya demokrasi masih menjadi pilihan relevan banyak bangsa di dunia," kata Ketua Umum PSI Grace Natalie dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Minggu, 26 Maret 2017.

Ia menjelaskan, wacana tersebut adalah ahistoris dan tidak berakar pada tradisi dan nilai demokrasi Indonesia.

"Agenda ini justru kontraproduktif dengan semangat membangun sistem presidensial yang kuat sebagai tahap lanjut demokrasi Indonesia," tegas dia.

Alasan pertama, Grace menjelaskan, DPR tidak perlu ke Jerman dan Meksiko guna melihat praktik utusan parpol sebagai anggota komisioner. Apalagi, ia menambahkan, Indonesia pernah mengundang anggota parpol pada 1999. Namun, hal tersebut dimaksudkan untuk memuluskan proses transisi politik dari Orba ke orde Reformasi.

"Dengan beranggotakan 53 orang dari utusan Parpol dan dipimpin oleh Rudini selaku Mendagri saat itu, maka diharapkan Pemilu 1999 memiliki legitimasi yang kuat karena seluruh utusan kontestan juga ikut mengawasi bersama hasil Pemilu 1999. Kembali ke wacana masa transisi adalah kemunduran demokrasi yang telah dicapai tidak dengan mudah oleh bangsa Indonesia," beber dia.

Kedua, Grace menjelaskan, DPR menabrak amanat UUD 1945 Pasal 22E ayat 5 tentang kemandirian anggota KPU. Bagaimanapun KPU, menurutnya adalah institusi penting produk reformasi, bahkan yang melahirkan rezim reformasi di Indonesia.

"Sistem Pemilu jujur dan adil adalah aturan main yang harus dijunjung oleh Komisioner KPU di seluruh tingkatan. Karenanya sebagai wasit, integritas dan objektivitas dijaga dengan mensyaratkan bahwa komisioner tidak dibenarkan dari utusan parpol yang merupakan kontestan Pemilu," tutur dia.

Ketiga, Grace meminta, DPR agar lebih fokus pada agenda pasal-pasal yang lebih krusial. Ketimbang, membahas usulan yang tidak relevan, prematur dan terbukti "error" dalam menetapkan sampel penelitian.

Keempat, ia menambahkan, ada indikasi dan upaya DPR sedang mengulur waktu pengesahan UU Penyelenggaraan Pemilu dengan mengangkat wacana utusan parpol di KPU. Konsekuensi kelambanan DPR, ia menilai, bisa berakibat sangat serius pada keseluruhan jadwal Pemilu 2019.

"Karenanya PSI mendesak DPR RI segera menuntaskan UU Penyelenggaraan Pemilu 2019 sesuai seruan Mendagri (anggota KPU terpilih) paling lambat April 2017," tandas Grace.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya