Liputan6.com, Kupang - Upah buruh harian lepas yang bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah dinilai kurang manusiawi dan tidak sebanding dengan beban kerjanya.
Para buruh kasar ini -sebagian besar dari Nusa Tenggara Timur- harus bekerja 7-12 jam sehari dengan upah hanya berkisar Rp 48.000-Rp 65.000 per hari dengan risiko kerja yang sangat tinggi.
Hal itu diungkapkan Peneliti Institute of Ecosoc Rights, Sri Palupi, dalam diskusi Data Perdagangan Orang (DPO), di Kantor IRSGC, Kupang, Minggu, 26 Maret 2017.
Dalam penelitian Ecosoc tentang "Perkebunan Kelapa Sawit dan Hak Asasi Manusia", pihaknya menemukan ratusan buruh migran asal NTT di perkebunan kelapa sawit yang hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Dilansir Antara, Sri menuturkan, para buruh ditampung di barak yang tak layak huni jauh dari fasilitas umum dan kesehatan yang memadai. Mereka tidak mendapatkan sarana air bersih dan harus bergantung di sungai sekitar kebun kelapa sawit yang sudah banyak tercemar.
Para buruh itu juga, kata dia, tidak mendapatkan perlindungan kerja seperti jaminan sosial dan jaminan kesehatan dari perusahan. Banyak dari mereka yang masih saja berstatus buruh harian lepas (BHL) meski sudah bekerja bertahun-tahun.
"Ada buruh yang kerja lima tahun tapi status tetap Buruh Harian Lepas (BHL)," kata Sri.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan, kata dia, status para pekerja menjadi alasan perusahaan untuk tidak memenuhi hak para pekerja sebagaimana yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan.
Tidak hanya itu, lanjut Sri, para buruh perempuan pun menjadi korban perbudakan di wilayah ini. Meski sedang hamil, para buruh perempuan harus tetap bekerja untuk menyemprot tanaman sawit tanpa menggunakan alat kerja memadai demi mendapatkan upah harian untuk tetap bertahan hidup.
Di sisi lain, keselamatan mereka juga terancam karena adanya kebijakan perusahaan kelapa sawit untuk melepas ratusan ular kobra untuk mengatasi hama di wilayah perkebunan.
"Belum lagi 100 ular kobra dilepas untuk 100 hektare lahan, bahkan ada buruh NTT yang tersengat ular kobra di bagian mata saat memotong dahan sawit tapi perusahaan berdalih kalau ular tumbuh dan berkembang biak secara alami," tutur Sri.
Beberapa kesaksian juga menyatakan, banyak buruh sawit asal NTT dan keluarga yang meninggal karena tidak mendapatkan pengobatan memadai dari pihak perusahaan dengan alasan status mereka sebagai BHL.
"Baru 1,5 tahun ia bertugas , tapi sudah mengurus delapan orang warga buruh PT KDP, terdiri dari dua buruh dan enam anak-anak buruh. Mereka meninggal karena sakit dan tak mendapatkan pengobatan memadai. Mereka adalah buruh dengan status harian lepas," kata dia.
Namun, kata Sri, mereka tidak tahu statusnya buruh harian lepas meskipun sudah setahun lebih bekerja di perusahaan sawit itu. Buruh baru mengetahui statusnya ketika anaknya meninggal dan meminta bantuan perusahaan untuk membawa jasad anaknya ke kampung.
"Pihak perusahaan hanya memberi uang Rp 250 ribu dengan alasan bahwa statusnya adalah buruh harian lepas," kata Sri, mengutip pernyataan seorang pastor yang bertugas di wilayah tersebut.
Sri mengatakan dengan status BHL, para buruh telah masuk dalam sistem kerja paksa yang secara luas diterapkan dalam industri perkebunan sawit dan berpotensi menghilangkan hak buruh untuk bebas dari kerja paksa.
Kondisi geografis perkebunan yang terisolasi semakin membuka peluang bagi perusahaan untuk menerapkan sistem kerja paksa tanpa ada pengawasan.
"Para buruh harian lepas yang datang atau didatangkan dari daerah lain sepenuhnya bergantung hidup pada perusahaan. Betapa pun mereka menghadapi kondisi kerja buruk, mereka akan tetap bertahan demi mendapatkan upah," jelas Sri.