Liputan6.com, Jakarta Kebiasaan menggigit kuku sering dikaitkan dengan gejala kecemasan. Tapi penelitian menemukan kebiasaan menggigit kuku bisa menunjukkan kepribadian seseorang.
Menggigit kuku juga berbahaya untuk kesehatan. Apabila gigitan tersebut dibiarkan terbuka dan tidak diobati, bakteri dan kuman bisa masuk ke dalamnya dan menyebabkan infeksi. Dan dalam kasus yang jarang, infeksi ini dapat menyebabkan kematian seperti yang dialami penggigit kuku di Inggris.
Advertisement
Tapi, kebanyakan menggigit kuku dianggap sebagai perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial. Studi menemukan 20-30 persen dari populasi menggigit kuku, mayoritas penggigit kuku wanita. Kebiasaan, yang dapat disebabkan kecemasan, dapat mengakibatkan masalah harga diri yahg negatif, yang pada gilirannya menyebabkan lebih banyak kecemasan. Menggigit kuku dapat menyebabkan siklus bencana perilaku.
Kebiasaan menggigit kuku sulit berhenti karena adiktif. Para peneliti bahkan menemukan tindakan sederhana menggigit kuku dapat menawarkan efek menenangkan pada sistem saraf tubuh.
Meskipun penyebab menggigit kuku dapat berbeda, kadang-kadang perilaku ini dipelajari dari orangtua atau saudara, warisan genetik, sesuatu yang dimulai untuk tetap waspada saat bosan, dan bahkan cara menyakiti diri.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, menggigit kuku bisa menjadi indikator seseorang adalah perfeksionis. Menggigit kuku terjadi ketika orang itu frustrasi dengan ketidaksempurnaan.
Penggigit kuku fokus pada kuku mereka ketika hidupnya tidak sempurna seperti bertengkar dengan pasangan mereka, gagal naik jabatan di tempat kerja, atau kegagalan untuk mencapai cita-cita. Ketika seseorang gagal mencapai cita-cita, mereka bisa beralih menggigit kuku untuk mengungkapkan rasa frustrasi mereka.
Perfeksionis sukanya maju. Jadi, ketika ada hal-hal yang tidak bergerak, perfeksionis merasa frustrasi dan bosan. Di situlah kebiasaan cemas ini datang untuk menyelamatkan hari.
"Kami percaya individu dengan perilaku yang berulang-ulang mungkin perfeksionis, yang berarti mereka tidak mampu bersantai dan melakukan tugas-tugas pada kecepatan normal,” kata Penulis studi, Dr Kieron O'Connor, dalam penelitian seperti dilansir AWM.
"Karena itu mereka rentan frustrasi, tidak sabaran, dan tidak puas ketika mereka tidak mencapai tujuan mereka."