Liputan6.com, Jakarta - Gang kecil, jalan-jalan utama, dan keramaian semua disusuri oleh kelompok kesenian ondel-ondel demi mengumpulkan rupiah dari uluran tangan warga.
Namun, di salah satu sudut Jakarta, tepatnya dekat kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, rombongan ondel-ondel akan berhenti dan berbelok atau balik arah mencari jalan lain.
Advertisement
Saat Liputan6.com berada di Jalan Kramat, Lubang Buaya, tiga rombongan ondel-ondel menghentikan langkah mereka, menghindari Jalan Kramat dan mencari rute lain.
Jalan Kramat merupakan sebuah jalan menuju makam orang sakti bernama Datuk Banjir. Makam keramat ini ramai dikunjungi peziarah, namun dihindari Ondel-Ondel.
Usut punya usut, ternyata ada cerita yang menyebabkan Ondel-Ondel dan semua yang bertopeng menghindari Jalan Kramat.
Yanto, ahli waris dan juru kunci atau kuncen makam keramat Datuk Banjir, mengisahkan cerita turun-temurun tentang sumpah dan pantangan yang berujung pada topeng.
Alkisah, kata Yanto, kakek buyutnya yang bernama Datuk Banjir memiliki anak lelaki tampan luar biasa.
"Mbah (Datuk Banjir) punya anak lelaki, ganteng, sampai direbutin banyak orang," kata Yanto memulai ceritanya.
Tak hanya rupawan, anak lelaki Datuk Banjir juga jatmika luar biasa, hingga membuat banyak wanita memperebutkannya.
"Sampai suatu saat ada Nyi Ronggeng yang suka, dia berebut dengan perempuan lainnya. Nah, Nyi Ronggeng ini membelah anaknya Mbah," kata Yanto.
Anak bujang Datuk Banjir tewas dengan kondisi terbelah dua. Saat membelah pemuda tersebut, Nyi Ronggeng tersebut memakai topeng.
Semenjak itu, kata Yanto, setiap ada topeng di sekitar makam keramat belah dua. Kalau topeng dipakai dan dibawa oleh seseorang, maka si pemakai dan pembawa bisa kesurupan dan jatuh sakit.
"Pernah ada yang nekat gelar pertunjukan pakai topeng. Baru saja mulai, sudah langsung sakit, ada yang teriak-teriak di bagian belakang," kisah Yanto.
Hingga kini, kata Yanto, tak boleh ada topeng satu pun di sekitar makam keramat Lubang Buaya.
"Jangankan ondel-ondel, apa aja yang pakai topeng, gak boleh lewat atau dekat-dekat ke sini (makam keramat Datuk Banjir)," ujar Yanto.
Bukan hanya topeng yang dilarang di sekitar makam keramat. Para peziarah juga dilarang takabur dan datang menggunakan seragam.
Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan peziarah yakni tidur atau rebahan kepala harus menghadap salah satu arah angin, dan tidak boleh tidur atau duduk di sebuah ranjang yang ditutup serba putih di makam tersebut.
Ranjang Putih
Di makam keramat Datuk Banjir ada sebuah ranjang dengan seprei, bantal, guling dan kelambu yang semuanya berwarna putih. Ranjang tersebut berada di ruangan 2 x 3 meter.
Ketika Liputan6.com memasuki ruangan ini, hawa dingin terasa berhembus di tengkuk meski tak ada alat pendingin ruangan.
Makam keramat ini sendiri terletak tak jauh dari monumen Lubang Buaya, Jakarta Timur. Tepatnya di belakang permukiman warga, dengan kali kecil sebagai pembatas antara kolam pancing, rawa, dan sawah.
Ada dua jalan setapak menuju makam itu. Satu jalan agak lebar, namun harus menyusuri dinding pembatas kolam pancing. Satu lagi jalan pematang sawah yang bisa di akses melewati belakang kompleks rumah warga.
Memasuki kompleks makam, dua patung harimau kecil akan menyambut peziarah. Akar pohon beringin menjuntai di salah satu patung. Melewati patung, terdapat jembatan kecil yang dibatasi pagar bercat hijau yang diujungnya terlihat sebuah gerbang setengah terbuka.
Berziarah ke makam keramat ini bukan asal ziarah. Jika coba-coba melanggar, peziarah akan celaka.
Yanto bercerita, pernah seorang perempuan datang berziarah, dan tiba-tiba kakinya jeblos ke lantai keramik.
"sedalam betis," kata Yanto sambil menunjuk lantai tempat kaki perempuan itu kejeblos. Saat diketuk lantai itu sangat padat.
Yanto kemudian berkisah soal serdadu kompeni berseragam yang melawan buyutnya, Datuk Banjir.
Kala itu, Indonesia masih dijajah Belanda, serdadu hendak menyerang Datuk Banjir dan warga Lubang Buaya. Lalu, Datuk Banjir berdoa. Tetiba kawasan itu berubah seperti danau, dan serdadu Belanda merasa seperti tenggelam meski tak ada air.
Berasal dari cerita ini, muncul pantangan peziarah tidak boleh menggunakan seragam saat datang ke makam keramat.
"Untuk masuk sini, gak boleh pakai seragam apapun. Mau tentara, polisi, atau siapapun, gak boleh pakai seragam ke sini, itu larangan dari kakek saya dulu," kata Yanto.
"Kalau dilanggar, ya saya gak tanggung jawab," ucap Yanto.
Untuk tata cara berdoa, Yanto menyebut tak ada pantangan. Terserah peziarah ingin berdoa apa, namun jika ingin berdoa dan bertawasul ke Datuk Banjir Lubang Buaya, Yanto siap membimbing mengucapkan doa-doa khsusus.
"Doa ini sudah diajarkan turun temurun, saya ndak bisa menyebutkannnya, tapi kalau memang ingin berdoa, mari saya bimbing," ujar Yanto.
Jika ingin membawa air untuk obat, peziarah bisa menimba sendiri atau minta ditimbakan air oleh kuncen di sebuah sumur, yang dalamnya sekitar 2 meter. Sumur ini tak pernah kering, dan peziarah selalu membawa airnya pulang.
"Ini sumur peninggalan Mbah, gak pernah kering, mau musim kemarau juga tetap ada airnya," terang Yanto.
Dekat sumur tersebut, tumbuh dua buah pohon. Lima langkah dari sumur itu, berdiri sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat empat makam berderet. Di sudut paling gelap ruangan tersebut, sebuah kereta tanpa kuda terparkir.
"Itu kereta peninggalan kakek, kuncen pertama makam ini, gunanya agar mengingatkan generasi berikutnya, bahwa kita hanyalah seorang yang tak punya apa-apa, dan tak perlu ada yang disombongkan," terang Yanto.
Soal kereta, Yanto mengisahkan, semasa kakek dan ayahnya masih hidup. Gemerincing kereta akan terdengar jelang senja.
"Itu Nyi Roro Kidul singgah, beliau biasanya sore-sore datangnya, tapi sejak ayah saya meninggal, ia jarang datang," kata Yanto.
Menurut Yanto, setiap kuncen per generasi memiliki kelebihan masing-masing. Yanto menyebut, seperti Neneknya yang juga kuncen, memiliki kelebihan menjaga sebuah golok warisan dari Datuk Banjir Lubang Buaya. Golok Bule namanya.
"Dulu Nenek juga menjaga keris bongkok dan satu wayang kulit besar, tapi yang saya cuma jaga Golok, kalau keris bongkok sama wayangnya sudah pergi dengan sendirinya, pergi dengan gaib," jelas Yanto.
Saat asyik bercerita, angin dingin tiba-tiba lewat di antara kami. Angin dingin itu menuju kamar bagian belakang, seiring turunnya matahari penanda senja.
Tiba-tiba sebuah panggilan terpampang di layar telepon genggam Yanto. Wajahnya cemas. "Sudah ke sini saja, iya di makam, di kramat," kata Yanto dengan nada terburu-buru.
Liputan6.com pun pamit. Sebelum pulang saya melongok kembali ke makam tempat ranjang serba putih itu berada. Tetiba pintu kamar makam ditutup dengan sendirinya. Entah siapa yang menutup, karena di tempat itu hanya ada kru Liputan6.com.
Advertisement