Angkutan Umum Vs Transportasi Online di Jabar Masih Panas

Aliansi mengklaim sejak mogok serentak di awal sampai akhir Maret 2017, 20 kejadian teror per hari dialami angkot dan transportasi online.

oleh Arie Nugraha diperbarui 31 Mar 2017, 08:30 WIB
Para pengemudi tergabung dalam Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat menuntut Pemprov Jabar menghentikan operasional transportasi berbasis online. (Liputan6.com/Arie Nugraha)

Liputan6.com, Bandung - Polemik antara transportasi berbasis online dan konvensional di Jawa Barat masih berlanjut. Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat kali ini menuntut pemerintah menerbitkan peraturan daerah (perda) dalam bentuk peraturan gubernur untuk mengatur operasional transportasi online yang saat ini dianggap ilegal.

Desakan penerbitan perda tersebut sebagai salah satu alternatif regulasi selama masa transisi revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 pada 1 April 2017.

Menurut Ketua Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat Nanat Nazmul, selama masa transisi revisi permenhub itu, pemerintah provinsi diminta menghentikan operasional transportasi berbasis online.

"Karena taksi-taksi online ilegal sampai hari ini masih tetap beroperasi. Artinya, kalau itu tetap beroperasi, baik peraturan atau apa pun itu sudah dilanggar oleh teman-teman aplikasi online tersebut," ucap Nanat di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Kamis, 30 Maret 2017.

Nanat menjelaskan, penghentian operasional transportasi berbasis online itu wajib dilakukan mengingat angkutan sewa khusus tersebut belum memenuhi persyaratan perizinan angkutan umum sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Menurut dia, nantinya untuk mengawasi penghentian operasional transportasi berbasis online sementara waktu tersebut harus dibentuk sebuah badan hukum legal.

"Mengingat ciri-ciri dan pola pelayanan yang dilakukan oleh angkutan sewa khusus ini sama seperti transportasi konvensional," ujar Nanat.

Selain itu, ia menambahkan, jika nantinya revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 sosialiasinya rampung dalam tiga bulan mendatang, maka harus ditetapkan jumlah kuota transportasi berbasis online.

Alasannya, jumlah kuota transportasi berbasis online itu harus merupakan jumlah total keberadaan transportasi konvensional sesuai dengan keputusan Gubernur Jawa Barat yang telah diterbitkan.

"Besaran tarifnya pula harus disesuaikan dengan tarif angkutan umum biasa," ujar Nanat merujuk keputusan Dinas Perhubungan setempat pada 1 Juni 2016.

Hal serupa juga harus diberlakukan kepada angkutan roda dua berbasis online, yang sampai kini diklaim oleh Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat belum diatur oleh perundang-undangan.

Nanat menekankan, Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat pun menuntut pemerintah provinsi agar bertindak cepat menuntaskan konflik transportasi online tersebut yang semakin hari meningkat intensitasnya.

Aliansi itu mengklaim sejak menggelar mogok serentak di awal sampai dengan akhir Maret 2017, setiap harinya 20 kejadian teror kedua transportasi berbeda sistem itu kerap terjadi.


Organda Jabar Dukung Tuntutan Aliansi Angkutan Umum

Angkot mogok massal tolak taksi online Bandung (Liputan6.com / Kukuh Saokani)

Terkait polemik tersebut, Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Barat mendukung penuh tuntutan Aliansi Angkutan Umum kepada pemerintah provinsi agar transportasi berbasis online harus memiliki peraturan yang jelas dalam beroperasi.

Tuntutan itu selaras dengan negara hukum yang harus mengatur tata cara operasional moda transportasi, tak terkecuali transportasi berbasis online.

Menurut Wakil Ketua Dewan Pengurus Daerah Organda Jabar Husein Anwar, pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa Barat diminta pada 1 April 2017 telah menerbitkan peraturan terkait transportasi berbasis online, berbarengan dengan sosialisasi pelaksanaan revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016.

"Intinya Organda itu sebagai asosiasi pengusaha untuk segala jenis pelayanan mengharapkan ada pengaturan yang setara dan adil bagi semuanya. Karena semuanya itu nanti termasuk online, nantinya juga anggota Organda," ujar Husein di Bandung, Kamis, 30 Maret 2017.

Husein mengatakan, sekalipun sosialisasi pelaksanaan revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 berbarengan dengan permintaan diterbitkannya peraturan gubernur perihal serupa, dianggap tidak bertabrakan dalam hal teknis di lapangan.

Alasannya, menurut Husein, sosialisasi pelaksanaan Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 di lapangan nanti sepenuhnya dilakukan pemerintah daerah, termasuk penerapan sanksi jika terjadi pelanggaran.

"Setelah mereka diberi kesempatan yang online ini untuk mendapatkan izin, tetapi tidak dilakukan dan tetap beroperasi serta tidak ada niatan baik mengikuti aturan, ya terpaksalah," ucap Husein.

Ia menyebutkan, jika transportasi berbasis online memiliki niat baik dengan memproses perizinan, selama tiga bulan mendatang yang dituntut aliansi transportasi konvensional adalah dihentikan sementara operasionalnya.

Husein mengatakan, tidak ada alasan bagi transportasi berbasis online tak mengikuti hasil revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 karena dianggap sudah menguntungkan kedua belah pihak.

"Misalkan begini, mengenai kuota, jadi selama ini yang menjadi masalah mereka bisa bertambah sesukanya tanpa memperhatikan jumlah kebutuhan karena jika kebutuhan dan permintaan tidak seimbang, maka akan jomplang," Husein menjelaskan.

Organda Jawa Barat mencontohkan persaingan antara sesama transportasi berbasis online sekarang ini sudah tidak sehat. Pemicunya adalah tidak meratanya raihan pendapatan para pengemudi transportasi online.

Banyak keluhan para pengemudi transportasi online itu yang diterima Organda akibat tidak adanya sistem yang mengatur jumlah kuota. "Karena mereka tidak dibatasi keberadaannya alias sebanyak-banyaknya akibat tarif yang dikenakan berdasarkan perusahaan aplikasi, sementara operatornya adalah pengemudinya," Husein Anwar memungkasi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya