Liputan6.com, Jakarta - Kota-kota di Asia seperti Singapura dan Tokyo mendominasi peringkat kota termahal di dunia sepanjang 2016. Hal ini sejalan dengan naiknya nilai mata uang di negara tersebut dan meningkatnya biaya hidup warga secara umum.
Penelitian dari The Economist Intelligence Unit seperti dikutip dari asia.nikkei.com Sabtu (1/4/2017), menemukan bahwa setengah dari 10 kota paling mahal berada di Asia.
Singapura mempertahankan tempatnya sebagai yang paling mahal selama empat tahun berturut-turut, sementara Hong Kong menempati urutan kedua kota termahal. Studi yang dilakukan ini melibatkan 400 orang yang menggunakan 160 produk belanja dari layanan di 132 kota dunia.
Baca Juga
Advertisement
Tokyo dan Osaka
Survei terbaru juga menandai kembalinya kota-kota di Jepang yakni Tokyo dan Osaka yang masuk peringkat 10 besar, masing-masing berada di urutan keempat dan kelima sebagai kota termahal di dunia. Di mana Tokyo naik 7 peringkat dan Osaka maju 9 peringkat dari urutan sebelumnya.
Sementara Seoul, Korea Selatan yang 7 tahun lalu berada di urutan ke 50, tahun ini juga naik menjadi kota termahal, berjarak 6 peringkat dengan Osaka, yakni di urutan ke-10.
"Gerakan Seoul naik peringkat telah menjadi proses yang berkelanjutan selama satu dekade, hal ini karena apresiasi mata uang dan tekanan inflasi yang stabil," kata seorang perwakilan The Economist Intelligence Unit Jon Copestake.
Namun meskipun memimpin peringkat kota termahal, Singapura menawarkan nilai yang relatif dalam beberapa kategori dibandingkan dengan kota-kota regional lainnya.
"Untuk kategori seperti perawatan pribadi, barang rumah tangga dan pembantu rumah tangga, Singapura tetap signifikan lebih murah daripada kota lainnya, meskipun tidak ada kota yang lebih mahal untuk harga pembelian mobil,” tulis laporan itu.
Penelitian ini menyebutkan bahwa Seoul, Tokyo dan Osaka adalah tiga kota termahal di seluruh dunia untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Bahkan harga-harga barang belanjaan di Seoul hampir 50 persen lebih mahal daripada di New York.
Volatilitas
Ekspektasi volatilitas lebih
Sementara cerita untuk Asia terlibat apresiasi mata uang yang mengarah ke kenaikan biaya hidup, survei keseluruhan lebih menyoroti deflasi dan devaluasi mata uang.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa tahun lalu deflasi dan devaluasi merupakan faktor penting dalam menentukan biaya hidup, banyak kota yang peringkatnya turun dan jatuh diakibatkan karena kelemahan mata uang atau penurunan harga lokal.
Harga-harga dan nilai sejumlah mata uang selama tahun 2016 tercermin dari rata-rata biaya hidup warganya, meskipun inflasi terjadi di banyak kota yang moderat.
Rata-rata indeks biaya hidup di 132 kota (dengan New York sebagai basis kota di angka 100) naik tahun lalu menjadi 74, sedangkan pada tahun 2015 naik hanya sedikit yakni 73.
Copestake memprediksi peringkat di masa depan bisa menjadi lebih tidak stabil, terutama jika sentimen proteksionis global diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret.
"Saya pikir proteksionisme tidak hanya menyebabkan harga naik di kota-kota, tetapi juga dapat melemahkan mereka secara ekonomi, yang akan membuat harganya di tingkat internasional lebih murah, jika langkah-langkah proteksionis menjadi jauh lebih jelas, saya harapkan volatilitas juga lebih meningkat dengan inflasi yang jauh lebih jelas," kata Copestake.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa naik turunnya peringkat kota termahal dunia bisa menjadi berkah tersendiri, karena kota-kota yang peringkatnya jatuh bisa melihat hal ini untuk dapat berkompetitif secara skala internasional.
"Sebagai contoh, operasi outsourcing yang berkelanjutan untuk negara-negara seperti India jadi mengejutkan terkait dengan fakta bahwa benua India secara struktural murah dan biasanya masuk sebagai 10 kota dengan biaya hidup termurah di dunia. Tapi, di sisi lain, penurunan cepat dalam biaya hidup di kota ini juga merupakan indikasi dari kelemahan dan volatilitas ekonomi," urai Copestake.