Lika-Liku Sejarah Perjalanan SMA Taruna Nusantara

Tahun 2001 LPTTN menghentikan beasiswa penuh ini. Hanya pelajar terpilih dan mempunyai kesulitan keuangan yang mendapat beasiswa penuh.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 01 Apr 2017, 11:06 WIB
Siswa dan pamong (guru) berfoto bersama dengan konfigurasi yang elok. (foto : Liputan6.com / Edhi Prayitno Ige)

Liputan6.com, Magelang Nama SMA Taruna Nusantara melambung menjadi perbincangan setelah salah satu siswanya yang duduk di kelas x tewas diduga dibunuh. Adalah Krisna Wahyu Nurachmad, nama sang siswa. Ia adalah putra seorang jenderal TNI bintang dua.

Benarkah Sekolah Unggulan dengan seleksi masuk ketat ini memang lekat dengan tradisi kekerasan sebagaimana pendidikan semi militer lainnya? Hal itu dibantah oleh Ikatan alumni SMA Taruna Nusantara.

"Kekerasan bukanlah budaya pendidikan dan pengasuhan di almamater. Kami mengecam adanya kekerasan di SMA TN dan meminta agar sekolah memastikan kejadian serupa tidak terulang," kata Rachmad Kaimudin, ketua Alumni SMA Taruna Nusantara.

Sebenarnya, ide pembangunan sekolah menengah atas yang berbasis semi-militer ini dicetuskan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Jenderal LB Moerdani. Ide itu dilontarkan pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1985 di Pendopo Agung Taman Siswa Yogyakarta.

Dalam paparannya, dijelaskan bahwa Sekolah Taruna Nusantara memiliki visi luhur, yakni untuk membangun sekolah yang mendidik manusia-manusia terbaik dari seluruh Indonesia dan menghasilkan lulusan yang dapat melanjutkan cita-cita para Proklamator.

Untuk merealisasikan ide ini, maka dibuatlah nota kesepahaman antara TNI dan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa dipilih karena merupakan organisasi kependidikan pertama di Indonesia. Dalam nota kesepahaman itu disepakati untuk membuat suatu lembaga bernama Lembaga Perguruan Taman Taruna Nusantara (LPTTN). Lembaga ini merupakan kristalisasi dari visi Jenderal Moerdani yang selanjutnya mengawasi proses pelaksanaan sekolah ini.

Sejak 2001, hanya putra putri terbaik dan memiliki kesulutan keuangan yang mendapat beasiswa penuh. (Foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Dalam perjalanannya, SMA Taruna Nusantara akhirnya bisa berdiri. Diresmikan oleh Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata) saat itu, Jenderal Try Sutrisno pada tahun 1990. Kampus itu menempati lahan seluas 18.5 hektar dan terdiri dari komplek akademis, asrama siswa, dan komplek perumahan pamong (guru), di atas tanah milik Akademi Militer.

Selama enam tahun pertama, SMA Taruna Nusantara hanya menerima laki-laki sebagai siswanya dengan jumlah sekitar 245 orang. Namun mulai tahun 1996, LPTTN membuat kebijaksanaan baru dengan menerima angkatan putri pertama sebanyak 70 orang. Untuk mengakomodasi perubahan ini, area sekolah ini pun diperluas menjadi 23 hektar.

Sebagai sekolah unggulan, sekolah ini langsung menjadi rujukan pemuda-pemudi yang cerdas namun memiliki keterbatasan ekonomi. Untuk lebih menarik pemuda-pemudi terbaik dari seluruh strata sosial, LPTTN kemudian menawarkan beasiswa penuh kepada pelajar yang diterima dengan dukungan dana dari TNI.

Saat itu TNI memiliki latar belakang politik dan keuangan yang sangat kuat dengan berbagai diversifikasi usahanya. Mengutip dari beberapa sumber, para tenaga pengajar (pamong) juga mendapat gaji di atas rata-rata, dan fasilitas lain yang kala itu sangat istimewa.


Dampak Krisis 1997

Tak ada diskriminasi putra dan putri, semua mendapat kesempatan sama untuk berprestasi. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Krisis ekonomi dan perubahan politik yang diawali pada tahun 1997 dan berpuncak saat dilakukan reformasi 1998, LPTTN mengalami kesulitan keuangan. Meski demikian TNI mencoba bertahan untuk tetap memberikan beasiswa secara penuh. Sayangnya, kekuatan politik yang menempatkan civil society sebagai kekuatan baru, seakan meminggirkan peran TNI.

Akibatnya, tahun 2001 LPTTN menghentikan kebijakan beasiswa penuh ini. Sejak itu pula hanya pelajar-pelajar terpilih dan mempunyai kesulitan keuangan saja yang tetap mendapatkan beasiswa penuh. Beasiswa inipun tak melulu dari dana TNI, namun juga dari donatur lain seperti individual, perusahaan, maupun pemerintah daerah.

Kasus dugaan pembunuhan Wisnu sendiri merupakan peristiwa kriminal murni yang baru pertama terjadi di sekolah berasrama di Indonesia. Menurut para alumni, sangat sulit untuk berbuat kriminal berat seperti pembunuhan. Sebab nyaris 24 jam kegiatan para penghuni asrama diawasi.

"Kami hanya memiliki waktu terbatas untuk bersenang-senang seperti pemuda di luar asrama. Di luar asrama saja kami tetap diawasi agar tetap berjalan di atas rel. Apalagi di dalam asrama," kata Dwi, salah satu alumni, Sabtu (1/4/2017).

Mulai tahun 1996, SMA Taruna Nusantara Sudah menerima siswa putri. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Kemudian dia melanjutkan cerita, untuk pengawasan di dalam asrama jelas lebih ketat. Karena selain diawasi para pamong, juga diawasi teman-temannya sendiri. Pengawasan oleh teman ini bukan berarti untuk menciptakan suasana saling mencurigai, namun justru saling memberi kepercayaan dan mengingatkan.

"Setelah lulus saya baru paham, gemblengan semi militer di SMA TN sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan saya. Saya lebih tegas dan lebih yakin. Kalaupun salah pilih, saya sudah terlatih menghadapi resiko, bukan lari atau menghindari tanggung jawab," kata Dwi.

Itulah sebabnya Dwi merasa heran adanya dugaan pembunuhan di dalam asrama. Jika sampai teman-temannya yang berada satu barak tidak tahu, tentu si pelaku sudah mempelajari situasi dan bisa memanfaatkan kelengahan temannya.

Atas dugaan pembunuhan Wisnu, polisi sudah memeriksa 16 saksi. Hal itu sebagai salah satu cara untuk mencari jejak pelaku. 

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya