Menakar Pelaku Makar

Menurut polisi, mereka yang ditetapkan sebagai tersangka berniat menduduki DPR secara paksa dan mengganti pemerintahan yang sah.

oleh RinaldoAhmad Romadoni Hanz Jimenez SalimAdy Anugrahadi diperbarui 03 Apr 2017, 00:08 WIB
ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta Dugaan adanya rencana makar kembali terdengar dari markas kepolisian. Kali ini dugaan itu muncul menjelang pelaksanaan demo 313 atau demo 31 Maret 2017. Situasinya persis dengan yang terjadi saat menjelang aksi 212 pada 2 Desember 2016 lalu.

Kali ini, menjelang aksi 313 lalu, aparat Polda Metro Jaya meringkus Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Al Khaththath di Hotel Kempinski, Bunderan HI, Jakarta Pusat. Selain pentolan FUI tersebut ada delapan orang lainnya yang ikut ditangkap. Belakangan, empat orang di antaranya dilepaskan.

Sementara, lima lainnya ditahan penyidik Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pemufakatan makar. Bersama empat rekannya yang lain, Al Khaththath ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, penahanan terhadap kelima tersangka merupakan alasan subjektivitas dari penyidik setelah dilakukan pemeriksaan 1x24 jam.

"Dievaluasi oleh penyidik untuk kelima tersangka ini dilakukan penahanan di Mako Brimob selama 20 hari ke depan," kata Argo di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu 1 April 2017.

Menurut dia, kelima orang tersebut dijerat dengan Pasal 107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP atas dugaan makar. Mereka adalah tiga mahasiswa, satu orang dari Forum Syuhada Indonesia, dan Muhammad Al Khaththath. Mereka semua telah berstatus sebagai tersangka.

Namun, lantaran kejadiannya mirip dengan dugaan makar terhadap tersangka yang sudah lebih dulu diproses sejak tahun lalu, muncul anggapan kalau kasus ini hanyalah rekayasa.

Hal ini diamini Karo Penmas Polri Brigjen Pol Rikwanto yang mengatakan pasti akan ada penilaian yang beredar di masyarakat, utamanya di media sosial kalau polisi merakayasa kasus makar. Dia pun menegaskan, tidak ada rekayasa dalam kasus ini.

"Kita tegaskan ini tidak ada rekayasa dalam tindakan kepolisian," ujar Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Minggu (2/4/2017).

Tudingan rekayasa kasus memang bukan pertama kali dialami polisi. Rikwanto mencontohkan kasus terorisme yang menewaskan Yayat. Dia tidak habis pikir kasus itu malah dianggap rekayasa.

Kabagpenum Polri Brigjen Rikwanto memberi keterangan pers terkait penangkapan terduga teroris Jatiluhur di Jakarta, Senin (26/12). Tim Densus 88 menyergap 4 teroris 2 pelaku ditembak mati dan 2 pelaku ditangkap hidup-hidup. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Ada emang orang mati direkayasa? Dan setelah itu banyak lagi penangkapan-penangkapan dan lebih parah lagi kondisnya. Artinya banyak bahan bom dan lain-lain. Jadi tidak ada dalam hal ini rekayasa-rekayasa itu," ucap dia.

Jenderal bintang satu itu menegaskan, polisi tidak main-main dengan kasus makar ini. Mengingat kasus ini berkaitan dengan keamanan negara, kehidupan berbangsa dan kedamaian.

"Kita tegas makanya kita lakukan tindakan hukum kita tangkap kita proses. Jadi tolong ditepis informasi seolah-olah ada rekayasa atau main-main pihak kepolisian tidak ada di sini. Kita sangat tegas masalah itu," ujar dia.

Rikwanto memastikan, penyidik punya bukti kuat dalam menjerat para tersangka kasus dugaan pemufakatan makar ini. Sehingga tak ada keraguan bagi kepolisian dalam menuntaskan kasus ini.

"(Buktinya) Sangat kuat ya," dia memungkas.

Selain itu, menurut dia makar dengan obrolan santai biasa tentu bisa dengan mudah dibedakan, sehingga kasus ini tidak mengada-ada.

"Kalau ngobrol di warung kopi kan biasa setelah itu bubar. Tapi kalau di dalamnya ada niat pergerakan, sudah ada perencanaan yang matang, itu beda lagi," kata Rikwanto.

Kritik terhadap pemerintah tentu tidak dilarang sepanjang kritik itu membangun. Bila yakin tidak ada niat untuk melakukan makar, Rikwanto menyarankan para tersangka menghadirkan saksi ahli untuk menguatkan pendapat mereka.

Dia juga membantah bila kategori makar hanya berlaku bila ada peran TNI di dalamnya. Menurut dia, siapa saja yang mencoba mengganti pemerintah di luar aturan hukum bisa disebut makar.

"Yang namanya makar tidak harus dilakukan oleh angkatan bersenjata. Siapa saja bisa, termasuk warga sipil yang terorganisir," imbuh dia.

Rikwanto menyadari berbagi pendapat terus bergulir selepas penangkapan terhadap Al Khaththath berserta empat tersangka lainnya. Tapi, akan lebih baik lagi ketika pendapat itu dikuatkan dengan keterangan saksi ahli yang diajukan pada proses pemeriksaan.

Petugas berjaga saat aksi bela islam 313 di kawasan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (31/3). Mereka menuntut kepada Presiden Jokowi agar melaksanakan undang-undang dengan mencopot gubernur terdakwa, Ahok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Jadi pendapat yang menguntungkan atau apa sebagainya silakan masukkan saja ke koridor hukum. Kalau pendapat di medsos ya baca saja tapi untuk kalkulasi analisa sendiri," pungkas dia.

Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Prabowo Argo Yuwono menuturkan, Al Khaththath bersama empat rekannya pernah menggelar beberapa pertemuan yang diduga mengarah ke pemufakatan makar. Intinya, kata dia, mereka berniat menduduki DPR secara paksa dan mengganti pemerintahan yang sah.

"Yang intinya, ada (rencana) menduduki DPR secara paksa dan mengganti pemerintahan yang sah ini. Kemudian kembali ke UUD 45," kata Argo di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (1/4/2017).

Pertemuan kelima orang itu, sambung dia, terjadi di beberapa tempat. Namun, dia tak merinci kapan mereka menggelar pertemuan yang mengarah ke dugaan makar itu.

"Ada di Kalibata dan di Menteng, dua lokasi pertemuannya. Setelah kami padukan kok tujuannya sama. Tujuan dan hasil rapatnya sama," ucap Argo.

Kelima orang tersebut dijerat dengan Pasal 107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP atas dugaan makar. Argo menambahkan, dari tangan kelimanya, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa surat dan dokumen.

"Ada surat, ada dokumen, sudah kami lakukan penyitaan," ujar Argo.

Namun, pihak FUI tak terima begitu saja pernyataan pihak kepolisian dan terus melakukan perlawanan secara hukum.

 

 


Melawan Melalui Praperadilan

 
Penahanan Muhammad Al Khaththath serta empat orang lainnya disesalkan pihak FUI dan kuasa hukum yang bersangkutan. Bahkan, Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Michdan menampik dugaan makar yang disangkakan kepada mereka berlima.

"Beliau tidak pernah berniat makar. Beliau mengatakan hanya ingin melaksanakan demo sebagai penanggung jawab demo hari ini. Keinginannya itu petahana yang mencalonkan gubernur karena sudah jadi terdakwa, supaya ada kentuan hukum," ujar Achmad Michdan.

Sementara, anggota Tim Kuasa Hukum Muhammad Al Khaththath lainnya, Ismar Syarifuddin, menilai penangkapan kliennya adalah upaya polisi untuk membungkam demokrasi.

Dia mengatakan, menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan kliennya merupakan bagian dari demokrasi dan dilindungi undang-undang.

Namun, ia heran mengapa ketika Al Khaththath menyuarakan aspirasinya mengenai kekecewaan terhadap penanganan kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok malah ditangkap polisi.

"Semenjak ada kasus Ahok kriminaslisasi ulama semakin kelihatan," terang dia.

Massa Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) kembali berdemo di depan Gedung DPRD DKI, Jakarta, (17/10/14). (Liputan6.com/Johan Tallo)

"Suatu saat ini akan menjadi sejarah, bahwa di masa Joko Widodo dilakukan penangkapan membabi buta. Kenapa? Karena setiap ada aksi demo pasti akan ada penangkapan. Ini apakah kebetulan atau tidak, yang tahu cuma kepolisian," sambung dia.

Dia keberatan terhadap penangkapan kliennya. Untuk itu, ia berencana akan mengambil langkah hukum, di antaranya, menempuh jalur praperadilan.

"Kami menilai status tersangka klien kami tidak sesuai dengan hukum," ucap Ismar.

Rencana tim kuasa hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan juga dibenarkan Achmad Michdan. Menurut dia, kliennya menolak ditahan dan dijadikan tersangka atas perkara tersebut.

"Beliau itu punya hak, untuk praperadilan. Yang jelas beliau menolak untuk ditahan dan ditangkap," kata Michdan saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (1/4/2017).

Dia mengaku belum memutuskan kapan gugatan praperadilan atas kliennya tersebut akan diajukan. Yang pasti, hal ini masih menunggu keputusan dari seluruh tim kuasa hukum dan kliennya.

"Kami akan bahas di rapat dulu. Nanti keputusannya oleh tim. Kami upayakan penangguhan penahan dulu," tambah dia.

Ribuan massa memenuhi patung kuda saat aksi bela islam 313 di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (31/3). Mereka menuntut kepada Presiden Jokowi agar melaksanakan undang-undang dengan mencopot gubernur terdakwa, Ahok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menanggapi rencana itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono mempersilakan pengacara mengajukan praperadilan. Tentu pengadilan akan menilai, apakah ada yang salah dalam prosedur penangkapan tersebut atau tidak.

"Hak sebagai tersangka dan keluarga untuk mengajukan praperadilan, ada lembaga juga yang menilai dan menguji, silakan," kata Argo di Mapolda Metro Jaya.

Sampai saat ini, kata Argo, tim pengacara Al Khaththath memang belum mendaftarkan gugatan praperadilan. Tapi bila itu benar terjadi, polisi sudah siap.

"Nanti kita tunggu saja, seandainya tidak terima atau merasa kurang prusedur," kata dia.

Polisi memastikan, segala proses yang dilakukan dalam penangkapan Al Khaththath sudah dilakukan sesuai prosedur. Sehingga tidak khawatir dengan gugatan praperadilan tersebut.

"Yang penting kepolisian sudah melakukan dengan profesional dan sesuai prosedur yang ada," Argo menandaskan.

 

 


Kabar Makar Sri Bintang

 
Sementara itu, terkait kasus dugaan makar jelang aksi 212 pada tahun lalu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta hingga hari ini belum menerima kembali berkas aktivis Sri Bintang Pamungkas dari penyidik Polda Metro Jaya. Padahal, Polda Metro Jaya telah menetapkan Sri Bintang Pamungkas sebagai tersangka kasus dugaan makar sejak awal Desember 2016.

"Belum (berkas diterima Kejati DKI)," kata Wakil Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI Jakarta Masyhudi di Jakarta, Minggu (2/4/2017).

Demikian pula berkas tersangka lainnya yang diduga makar, ia melanjutkan, sampai sekarang belum dikembalikan kepada Kejati DKI.

Mereka adalah Ahmad Dahlan, Rachmawati Soekarnoputri, Hatta Taliwang, Brigjen TNI Purn Aditya Warman, Mayjen TNI Purn Kivlan Zein, Firzha Huzein dan Alvin Indra.

Masyhudi mengaku tidak tahu kapan berkas itu akan dikembalikan kepada Kejati DKI Jakarta.

Berkas perkara Sri Bintang Pamungkas dikembalikan tim jaksa peneliti kepada penyidik Polda Metro Jaya pada Kamis, 19 Januari 2017 dengan pemberian petunjuk atau P19.

Aktivis Sri Bintang Pamungkas dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh laskar Jokowi. (Foto: Facebook)

Sri Bintang Pamungkas dijerat Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP tentang makar.

Pihak Polri membenarkan, hingga kini pihaknya memang belum menyerahkan kembali berkas Sri Bintang cs kepada Kejati DKI Jakarta. Namun, dipastikan berkas itu segera rampung untuk diserahkan.

"Kalau 212 kami hampir rampung secara internal. Artinya penyidik sudah hampir rampungkan berkas perkara," kata Karo Penmas Div Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Minggu (2/4/2017).

Beberapa kendala diakuinya dihadapi penyidik dalam merampungkan berkas perkara. Misalnya pengumpulan keterangan saksi ahli yang butuh waktu lebih. Termasuk beberapa berkas yang dikembalikan kejaksaan dan butuh waktu tambahan untuk melengkapinya.

Di tengah rencana penyerahan berkas itu, Polri juga punya pekerjaan rumah baru. Sebab, Tim Kuasa Hukum Sri Bintang Cs mengugat Kapolri Jendral Tito Karnavian lewat peradilan internasional.

"Saya selaku tim kuasa Sri Bintang Pamungkas (SBP) sudah mengajukan gugatan ke pengadilan internasional, yang kami gugat Kapolri atas dugaan makar kemarin," ucap Dahlia Zein, Sabtu 1 April di Depok.

Gugatan itu dilayangkan oleh tokoh-tokoh yang pernah ditangkap pada Aksi 212. Sejumlah berkas pun akan dilampirkan.

"Bukti-bukti itu berupa surat penahanan, surat penolakan atas BAP dan penahanannya Sri Bintang Pamungkas," ujar dia.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberikan keterangan pers usai memberikan penghargaan kepada 87 anggota Polda Metro yang berhasil mengungkap kasus perampokan Pulomas dengan cepat. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Dia menerangkan saat ini pihaknya masih dalam pengumpulan berkas administrasi. Rencananya, berkas tersebut bakal di serahkan pada April ini.

"Kami sudah daftarkan Febuary lalu. Waktu SBP masih di Polda," imbuhnya.

Dia mengaku enggan menempuh jalur pra-pradilan lantaran saat ini menurut dia, yang berpihak hanyalah dunia internasional.

"Saat ini siapa sih yang berpihak kepada kita. Kita tidak tahu, mana lawan, mana musuh, dan mana teman," tandas Dahlia.

Pihak Polri sendiri melalui Kabid Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar belum mau berkomentar soal gugatan tersebut. Ia menilai, tidak ada urgensi dari gugatan Sri Bintang dan kelompoknya itu.

"Belum jelas urgensinya apa. Saya belum bisa berpendapat masalah itu," kata dia di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu kemarin.

Boy memastikan, semua prosedur dalam menyelidiki atau pun menyidik kasus dugaan makar sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena itu, ia menegaskan, kasus tersebut murni kasus hukum.

"Semua yang dilakukan oleh kepolisian berdasarkan profesionalisme murni masalah hukum," imbuh dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya