Liputan6.com, Jakarta - Tak mudah untuk mengungkap kasus e-KTP. Banyak nama, banyak pula jumlah uang yang mengalir dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Pelik, sebuah kata yang digunakan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan untuk menggambarkan kasus korupsi ini.
Advertisement
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, KPK akan mengungkap 70 orang yang turut dalam mega korupsi ini.
"Untuk selanjutnya, kami ungkap pihak yang turut terlibat secara rinci yang totalnya mencapai 70 orang. 37 nama itu memang di dakwaan, belum disampaikan. Itu bagian dari 70-an nama (yang terlibat)," kata Febri, Kamis 9 Maret 2017.
Dua dari tiga tersangka di antaranya sudah menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mereka adalah dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto.
Sidang keduanya tidak semulus harapan sebagian orang. Terlebih dengan adanya pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh saksi Miryam S Haryani dalam sidang kasus ini. Politikus Hanura tersebut mengaku mencabut BAP karena dia mendapat tekanan saat memberikan keterangan di KPK.
Pencabutan BAP oleh mantan anggota Komisi II DPR RI itu dilakukan pada persidangan keempat kasus e-KTP pada 23 Maret 2017.
"Saya takut, saya diancam sama penyidik, pemberian jawaban di BAP itu hanya untuk menyenangkan mereka, saya jawab asal-asalan Pak. Jadi tidak pernah saya dapat uang (50 Juta dari Ketua Komisi II)," kata dia sambil menangis saat itu.
Dia mengaku sempat diancam penyidik senior KPK Novel Baswedan. Ancaman itu diterima saat pemeriksaan pertama sebagai saksi terhadap tersangka Irman dan Sugiharto.
"Pertama kali disidik, Pak Novel bilang, sebenarnya ibu (Miryam) mau ditangkap dari tahun 2010," ujar Miryam di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis 30 Maret 2017.
Selanjutnya pada pemeriksaan kedua, Miryam mengaku masih juga tertekan dengan omongan Novel. Terlebih saat pemeriksaan yang berlangsung di ruangan berukuran 2x2 meter, dia kerap ditinggal oleh penyidik.
"Pemeriksaan kedua juga saya masih tertekan. Masih trauma dengan omongan itu. Dari pagi sampai maghrib sering ditinggal. Dikasih makan sih, tapi ditinggal terus," kata Miryam.
Pada pemeriksaan keempat kasus e-KTP, Miryam mengugkapkan dirinya dibuat mabuk lantaran mulut Novel Baswedan tercium aroma durian. "Saya mual dan pusing, muntah-muntah," ujar Politikus Hanura tersebut.
Mendengar peryataan Miryam, Novel pun menyampaikan pembelaan kepada majelis hakim. Menurut dia, apa yang disampaikan Miryam tidak semuanya benar. "Kalau ibunya sakit, iya, saya tahu itu," ucap Novel.
JPU KPK kemudian meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor yang menangani kasus e-KTP menetapkan Miryam S Haryani sebagai tersangka pemberi keterangan palsu pada sidang Kamis 30 Maret 2017. Permintaan penetapan tersangka atas mantan anggota Komisi II DPR RI itu ditolak majelis hakim.
Keputusan JPU KPK ingin menetapkan Miryam sebagai tersangka lantaran diduga memberikan keterangan palsu saat persidangan. Apalagi, sebelum sidang Miryam telah lebih disumpah akan memberikan keterangan benar.
Cari Akal
Menghadapi sikap Miryan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tinggal diam. KPK terus menggali kasus e-KTP dari sejumlah sisi. Terakhir, KPK menetapkan pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri Andi Narogong sebagai tersangka ketiga dalam kasus ini.
Lalu, akankah ada tersangka lagi?
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo memastikan masih banyak pihak yang dibidik KPK dalam kasus megakorupsi e-KTP.
"Kalau tersangka baru pasti ada. Waktunya yang kita tunggu," kata Agus di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Jakarta Pusat, Senin 3 April 2017.
Dia mengaku telah menerima usulan dari penyidik terkait tersangka baru di kasus e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 trilun tersebut.
"Kami sudah menerima usulan beberapa tersangka baru kasus ini," tutur Agus.
Nazaruddin Buka-bukaan
Mantan Bendahara Umum Demokrat Muhammad Nazaruddin, bersaksi dalam sidang kasus e-KTP2907948, Senin 3 April 2017. Dia pun membongkar kasus itu dan ke mana dananya mengalir.
Nazaruddin tidak mempermasalahkan jika sejumlah nama membantah telah menerima aliran dana dari kasus e-KTP 2908082. Dia percaya keadilan akan ditegakkan.
"Ya memang kalau masalah bantah dari mana mau ngaku? Tapi kan kalau dia mau lebih baik, lebih baik ngaku biar supaya hukumannya di dunia dan akhirat tidak berat," kata Nazaruddin.
Terpidana kasus korupsi Hambalang itu mengaku akan kooperatif dalam sidang ini. Terlebih, dari awal, dia sudah berniat untuk membantu KPK dalam mengungkap kasus korupsi.
"Saya sih udah niat dari awal untuk bantu KPK. Khusus kasus Hambalang, e-KTP, dan lain-lain," Nazaruddin menjelaskan.
Salah satu yang dibongkarnya adalah dugaan keterlibatan mantan atasannya di Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Menurut dia, Anas merupakan pihak yang menyetujui proyek e-KTP secara multiyears.
Menurut cerita Nazaruddin, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan, pada 2009, Ignatius Mulyono dan Mustokoweni menghadap ke Anas Urbaningrum. Ignatius dan Mustokoweni harus meminta izin kepada Anas selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat.
"Memberitahukan proyek e-KTP. Kebutuhan anggaran Rp 6 triliun lebih, saya lupa pastinya, dengan program multiyears harus ada dukungan dari fraksi yang paling besar di DPR," ujar Nazaruddin di hadapan majelis hakim kasus e-KTP.
Pada saat itu juga Ignatius menceritakan, dalam pengadaan proyek e-KTP ini, akan dikawal oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Andi dibawa ke Fraksi Demokrat, ke lantai 9. Dia (Andi) menjelaskan dirinya adalah rekanan Kemendagri, dan meyakinkan Anas bahwa dia sanggup menjalankan e-KTP. Dia juga bilang, program ini bisa berjalan kalau ada dukungan dari DPR dan Kemendagri," kata Nazaruddin saat bersaksi di sidang kasus e-KTP.
Setelah itu dibuatlah pertemuan antara Andi, dan pihak Kemendagri yang saat itu diwakili oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri, Diah Anggraeni. Menurut Nazar, saat pertemuan tersebut Diah menyetujui program e-KTP.
"Bu Diah cerita, akhirnya program e-KTP ini perlu didukung," kata Nazaruddin.
Dia juga mengatakan Anas menerima uang sebesar Rp 500 miliar.
Anas meminta uang tersebut kepada pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong untuk kebutuhannya dalam pemenangan sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat.
"Waktu itu Anas mau maju sebagai ketum. Ada komitmen (fee) sekian persen untuk Anas dari Andi. Penyerahan pakai dolar dan rupiah," ujar Nazaruddin di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (3/4/2017).
Dia mengatakan Anas menerima uang sebesar Rp 20 miliar pada penyerahan tahap pertama. Nazar mengetahui hal tersebut dalam kapasitasnya sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat saat itu.
"Karena kan mengasihnya lewat bendahara. Awalnya diserahkan kepada Mas Anas, lalu dikasih ke saya. Uang itu dibagi-bagikan untuk persiapan jadi Ketum Demokrat," kata Nazaruddin dalam sidang kasus e-KTP.
Pemberian kedua, menurut Nazaruddin, terjadi pada akhir 2010 sebesar US$ 3 juta. Sebelum penerimaan uang tersebut, Nazar mengungkapkan Anas kembali bertemu dengan Andi Narogong.
"Mas Anas ada keperluan, uangnya akhirnya diserahkan ke Fahmi Yandri, orang kepercayaan Anas. Itu enggak ke saya uangnya. Tapi saya tahu karena saya bertanya kepada Fahmi. Fahmi bilang yang tersebut sudah dia terima," ungkap Nazarudin.
Setelah itu, Nazaruddin mengungkap pemberian dana kepada Pimpinan Badan Anggaran di DPR. "Mirwan Amir dapat US$ 1 juta. Terus US$ 500 diserahkan ke fraksi," kata Nazaruddin.
Pada dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, Anas Urbaningrum disebut terima uang US$ 5,5 juta.
Sementara itu, pengacara Anas Urbaningrum, Firman Wijaya mengaku belum bisa berkomentar soal hal ini.
"Saya belum bisa komentar karena belum bertemu dengan Pak Anas," ujar Firman ketika dihubungi Liputan6.com, Senin 3 April 2017.
Nazaruddin juga menyebut nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Menurut Nazar, Ganjar memang sempat menolak saat hendak diberikan uang sebesar US$ 150 ribu.
"Ada satu yang menolak yang mulia. Pak Ganjar," ujar Nazar bersaksi dalam sidang perkara suap e-KTP, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (3/4/2017).
Nazar mengungkap, pemberian uang tersebut terjadi di ruangan mantan anggota Komisi II DPR RI Mustokoweni. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Nazar, penolakan oleh Ganjar lantaran politikus PDI Perjuangan itu menganggap uang dari kasus e-KTP tak sesuai untuknya. Alhasil, Ganjar pun diberikan uang sebesar US$ 500 ribu.
"Ribut dia (Ganjar). Dia minta posisinya sama kayak Ketua. Minta nambah. Dikasih 500 ribu dolar akhirnya," ucap Nazar.
Di hadapan Majelis Hakim, Nazar mengaku tahu hal tersebut karena kapasitasnya sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat. Menurut Nazar, Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum selalu berkoordinasi dengannya. Termasuk pemberian uang dari Andi Narogong kepada Ganjar.
"Tahu, Yang Mulia. Saya lihat (Ganjar menerima), kan sudah diamplopin. Setiap ingin menyerahkan, Andi lapor ke Mas Anas," kata Nazar dalam sidang kasus e-KTP.
Pada sidang sebelumnya, Ganjar telah membantah menerima uang dalam kasus tersebut. "Maaf Majelis Hakim, saya tidak pernah menerima uang tersebut. Menurut saya dakwaan ini lucu," ujar Ganjar, Kamis 30 Maret 2017.
Bagaimana kelanjutan kasus e-KTP ini?
Advertisement