Liputan6.com, Xinjiang - Tak boleh mengenakan janggut panjang. Dan, Tak boleh mengenakan burka.
Barisan larangan tersebut menambah kebijakan dan peraturan Pemerintah Tiongkok untuk mencegah segala bentuk ekstremisme berbasis agama di Provinsi Xinjiang, rumah bagi total populasi muslim sebanyak 10 juta orang, seperti yang dilansir CNN, Senin, (1/4/2017).
Advertisement
Provinsi Xinjiang merupakan wilayah yang mayoritas dihuni oleh etnis Uighur, kelompok etnis muslim tradisional minoritas di Negeri Tirai Bambu.
Pada beberapa tahun terakhir, Provinsi Xinjiang, khususnya etnis Uighur, kerap menjadi target kebijakan Pemerintah Tiongkok yang berusaha untuk menekan segala bentuk ekstremisme, militansi, separatisme, dan terorisme terkait agama.
Secara spesifik, isi kebijakan tersebut antara lain, melarang mengadvokasikan pemikiran ekstremis, melarang menggunakan atau memaksa orang lain menggunakan penutup wajah/cadar, melarang mempromosikan fanatisme agama melalui penggunaan janggut di tempat umum, mewajibkan anak-anak untuk mengikuti pendidikan kenegaraan, melarang melakukan intervensi terhadap kebijakan keluarga berencana pemerintah, melarang untuk mengakses informasi ekstremis dalam berbagai bentuk, dan wajib menggunakan produk dalam negeri.
Apa alasan Pemerintah Tiongkok menerapkan larangan itu?
Pertama, kebijakan tersebut dilatarbelakangi beberapa insiden yang dituding sebagai aksi terorisme oleh pemerintah, seperti serangan Kumming tahun 2014 yang menewaskan 31 orang dan serangan Alun-Alun Tiananmen tahun 2013 yang menewaskan 5 orang.
Atas serangkaian insiden itu, Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mejaga keamanan RRC. Langkah pertama adalah dengan menerapkan kebijakan 'great wall of iron' yang menjamin stabilitas nasional, solidaritas etnis, dan persatuan bangsa.
Xi Jinping juga menerapkan kebijakan 'one belt, one road', yang menguatkan hubungan Negeri Tirai Bambu dengan negara-negara di Asia Tengah.
Lokasi yang dekat dengan perbatasan China dengan negara-negara Asia Tengah, rangkaian aksi teror yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, dan adanya gerakan separatisme membuat Beijing meningkatkan keamanan dengan menempatkan sejumlah pasukan militer di Provinsi Xinjiang.
Kedua, pemerintah Tiongkok memiliki keyakinan sepihak bahwa Provinsi Xinjiang marak dengan aktivitas terorisme.
Pemerintah Negeri Tirai Bambu beranggapan bahwa serangan yang terjadi pada tahun 2013 dan 2014 lalu dilatarbelakangi oleh sayap ISIS yang bernama East Turkestan Islamic Movement yang memiliki embrio di Xinjiang.
Tak hanya itu, RRC juga yakin bahwa beberapa etnis Uighur di Xinjiang menyeberang ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Pemerintah, media Barat, dan oposisi Presiden Xi Jinping beranggapan bahwa kebijakan China terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang bersifat diskriminatif.
Mereka menilai bahwa ada usaha sistematis yang dilakukan Negeri Tirai Bambu untuk menekan budaya, gaya hidup, dan kepercayaan etnis Uighur.
"Kebijakan kami (Tiongkok) terhadap etnis Uighur didasari atas fakta," ujar Menteri Luar Negeri Tiongkok Lu Kang dalam menangkis tudingan Barat tersebut.