Makin Ditinggalkan, Perlukah Angkot di Bandung Dipertahankan?

Jumlah angkot yang beroperasi di Bandung hanya 5 ribuan unit, kalah jauh dari mobil yang mencapai 200 ribuan unit.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 04 Apr 2017, 17:35 WIB
Jumlah angkot yang beroperasi di Bandung hanya 5 ribuan unit, kalah jauh dari mobil yang mencapai 200 ribuan unit. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Angkot di Bandung makin ditinggalkan, tapi juga masih dicari. Moda transportasi publik ini susah payah bertahan di tengah gempuran kendaraan pribadi dan transportasi berbasis online.

Mega Anggraeni (32), salah seorang pengguna angkot menilai keberadaan angkot masih dibutuhkan. "Saya merasa naik angkot lebih murah, meski tergantung tujuan juga. Untuk jarak dekat, masih bisa Rp 2-3 ribu," tutur Mega kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Warga Riung Bandung itu mengaku dalam sehari bisa menggunakan jasa angkutan umum sebanyak dua sampai tiga kali dalam sehari. "Tapi sayang angkotnya sering kosong," ucap dia.

Berdasarkan pengalamannya, jarang ada sopir angkot yang ugal-ugalan di jalan raya. Kalaupun ada, biasanya bukan angkot. "Paling ngebut biasa. Angkot ngebut malah bagus, tapi tetap harus tertib daripada ngetem berlama-lama," kata dia.

Tidak hanya Mega, warga Bandung lainnya menilai keberadaan angkot sangat membantu. Sebagai orang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, Jaenal Mustofa (20) menilai angkot membantunya sampai ke tempat tujuan.

Jaenal adalah salah seorang pengguna setia angkot Bandung. Warga Buah Batu itu biasa naik angkot menuju tempat kerjanya di Cicaheum. Karena arah yang ditujunya tidak dilewati satu rute, dia menggunakan dua angkot berbeda jurusan, pertama jurusan Stasiun Hall – Gedebage dilanjut dengan angkot jurusan Cicaheum – Ciwastra.
 
"Kalau naik angkot kan tidak kepanasan dan kehujanan. Selain itu naik angkot juga mengurangi kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi," ujar dia.

Wiraswasta yang bergerak di bidang kopi itu berpendapat jumlah angkot Bandung saat ini sudah cukup. Hanya saja, jumlahnya tidak imbang saat malam hari dibandung pagi dan siang hari.

"Ketika lewat dari jam 9 malam biasanya sudah sepi," ujar dia.

Sebagai pengguna setia angkot, Jaenal berharap para sopir lebih mengutamakan kenyamanan kepada penumpang. Bukan hanya soal interior angkot yang nyaman, tetapi juga waktu perjalanan yang lebih singkat.

"Mungkin bisa jadi ngetem itu karena uring-uringan kejar setoran. Tapi, saya berharap para sopir lebih ramah pada penumpang," kata Jaenal.


Kendaraan Pribadi Vs Angkot

Jumlah angkot yang beroperasi di Bandung hanya 5 ribuan unit, kalah jauh dari mobil yang mencapai 200 ribuan unit. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Kebiasaan ngetem para sopir angkot di Bandung tak bisa dilepaskan dengan pertambahan warga yang memilih beraktivitas dengan kendaraan pribadi. Berdasarkan temuan komunitas sosial Riset Indie pada 2013, tercatat lebih dari 500 ribu unit sepeda motor dan 200 ribu unit mobil melaju di jalanan Kota Kembang.

Di sisi lain, terdapat 5.521 unit angkot dengan 39 trayek beroperasi di ibu kota provinsi Jawa Barat itu. Dengan jumlah penduduk 2,4 juta jiwa, angkot yang tersedia bisa membantu mengurangi kemacetan yang semakin lama semakin parah di Kota Bandung.

Puncak kemacetan terutama terjadi di akhir pekan. Setidaknya 70 ribu turis memasuki Kota Bandung menggunakan kendaraan pribadi dan enggan menggunakan angkutan publik yang tersedia.

Padahal, upaya peremajaan sudah dilakukan untuk membangkitkan minat warga menggunakan angkot. Nyatanya, masalah angkot tidak sekadar soal interior yang nyaman. Warga membutuhkan angkot dengan jadwal yang pasti, tarif tetap dan aman dari kriminalitas.

Tren penurunan minat warga terhadap angkot disadari pemangku kepentingan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Bandung. Kepala Dishub Kota Bandung Didi Riswandi yang ditemui di ruang kerjanya mengungkapkan penurunan jumlah pengguna angkot mulai dirasakan saat peluncuran subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, penikmat terbesar subsidi BBM adalah sepeda motor sebesar 53 persen dan mobil pribadi 40 persen. Sedangkan, angkot hanya menikmati 3 persen subsidi dan 4 persen lainnya dinikmati mobil barang.

"Sekarang apa yang terjadi? Yang banyak disubsidi orang kaya. Lebih ironis lagi kendaraan orang kaya lebih boros lagi. Tapi, saya kira itu kewenangan pusat yang mengatur," kata Didi.

Keterbatasan kewenangan soal penarikan pajak kendaraan bermotor, sambung dia, juga menghambat Pemkot Bandung untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi agar beralih ke angkot. Padahal, pajak yang tinggi bisa efektif untuk memaksa warga beralih ke angkot.

"Kalau misalnya kendaraan pribadi dari sisi pajaknya dinaikkan, maka akan terasa berat dan masyarakat beralih ke angkutan publik. Namun, ini masih berkaitan dengan kesiapan layanan transportasi publik yang belum ke pelosok-pelosok sehingga harus disediakan dulu," kata Didi ditemui di ruang kerjanya di Jalan Soekarno Hatta Bandung, Senin, 3 April 2017.

Kini instrumen yang tersisa adalah menaikkan tarif parkir. Dirinya mencontohkan, jika seseorang naik kendaraan umum pulang pergi Rp 10.000, tarif parkir bagi pemilik kendaraan untuk sekali parkir dikenai tarif yang sama juga.

"Kalau begitu, potensi orang berpindah ke transportasi umum lebih besar," kata Didi sambil menambahkan akan memperbaiki manajemen parkir. (Huyogo Simbolon)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya