Liputan6.com, Griffith - Ilmuwan menemukan artefak berupa perhiasan dan karya seni yang berasal dari zaman es di sebuah gua di Indonesia.
Temuan tersebut menguatkan hipotesis yang menjelaskan bahwa manusia pra-sejarah yang pernah menetap di Tanah Air pada masa lalu memiliki peradaban dan kesenian yang lebih maju.
Advertisement
Tim peneliti arkeologi dari Griffith University Australia yang dipimpin oleh Adam Brumm menemukan artefak tersebut pada salah satu pulau di kluster kepulauan Wallace (atau Wallacea).
Kluster kepulauan ini merupakan kawasan kepulauan Indonesia yang dekat dengan kawasan Australia-Pasifik, seperti Papua dan Sulawesi. Sedangkan Sumatera dan Kalimantan tergabung dalam kluster kepulauan Weber
Artefak tersebut berupa liontin dan manik-manik yang dibuat dari tulang-belulang babirusa dan kuskus (sejenis marsupiala). Diperkirakan, artefak tersebut berusia sekitar 22.000 tahun.
Temuan ini menjadi salah satu terobosan ilmiah terbaru dalam bidang arkeologi manusia prasejarah. Penelitian sebelumnya--di kawasan kluster kepulauan yang sama--berhasil membuktikan bahwa manusia prasejarah telah tiba di Wallacea sejak 47.000 tahun yang lalu.
Jika hasil penelitian keduanya dikombinasikan, ilmuwan mampu menyusun sebuah hipotesis yang membuktikan bahwa manusia prasejarah telah mencapai, mengkolonisasi, dan membangun peradaban di kluster Wallacea pada zaman es.
Meski ada 2.000 pulau pada kluster Wallacea yang berpotensi dapat dihuni manusia pra-sejarah pada zaman es (atau Pleistosen, Pleistoscene), hasil penelitian arkeologi hanya menemukan bukti peradaban pada 7 pulau saja.
"(Kluster kepulauan) Wallacea merupakan telaga ilmiah untuk temuan arkeologi penting, sebut saja temuan fosil 'manusia hobit' (Homo floresiensis) pada tahun 2003 dan artefak lukisan batu tertua pada tahun 2014. Meski menakjubkan, temuan itu dan (yang terbaru) ini hanya sebatas memberikan komprehensi dasar bagi ilmuwan untuk memahami evolusi dan perkembangan kebudayaan manusia prasejarah yang mengkolonisasi (pulau-pulau) Australasia pada 50.000 tahun lalu," ujar Adam Brumm kepada Live Science, Selasa, (4/4/2017).
Artefak terbaru itu ditemukan di gua Leang Bulu Bettue, di Pulau Sulawesi, pulau terbesar dalam kluster Wallacea. Temuan ini membuktikan adanya kebudayaan dan peradaban yang maju pada zaman Pleistosen di kluster Wallace pada Pulau Sulawesi.
"Temuan berlimpah di Sulawesi ini membuktikan variasi perilaku simbolik dan kebudayaan artistik pada zaman itu," ujar Brumm.
Aktifitas penggalian artefak telah dilakukan pada tahun 2013, 2015, dan 2017. Penggalian itu berhasil menemukan macam-macam jenis artefak yang berusia sekitar 22.000 hingga 30.000 tahun.
Rupa-rupa artefak itu berbentuk manik-manik pipih yang dibuat dari gigi babirusa dan liontin dari tulang jari kuskus. Hewan-hewan eksotis--yang hanya ditemukan pada kluster Wallacea--itu menjadi salah satu bentuk verifikasi temuan artefak.
Jenis artefak lain berupa; fragmentasi batuan mineral berwarna campuran merah arbei dan hijau okra; serta tulang kuskus berongga dengan pigmentasi merah kehitam-hitaman yang digunakan seperti kuas untuk melukis.
Temuan terbaru itu, menurut Brumm, dapat mendobrak hipotesis 'populer' yang menganggap bahwa kebudayaan manusia pra-sejarah Pleistosen di Wallacea cenderung primitif dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kebudayaan manusia pra-sejarah Pleistosen di Eropa.
Hipotesis 'populer' itu terbentuk karena minimnya penelitian dan preservasi mengenai kebudayaan manusia pra-sejarah di Asia Tenggara dan Australasia. Kini, temuan terbaru itu dapat berargumen bahwa kebudayaan manusia pra-sejarah di Wallacea tak kalah maju dan artistik dengan saudara-nya di Eropa.
Dan, selain artistik, kebudayaan manusia Wallacea dinilai memiliki hubungan eksotis dengan hewan-hewan endemik disekitarnya, seperti kuskus dan babirusa.
Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan bagian tubuh hewan-hewan itu menjadi karya seni dan perhiasan bagi manusia Wallacea. Warisan kebudayaan ini diwariskan dan dapat ditemukan pada kebudayaan suku-suku Aborigin di Australia dan Selandia Baru.
Secara keseluruhan, temuan ini menjadi terobosan baru bagi komunitas akademik untuk memahami proses evolusi dan perkembangan peradaban manusia di wilayah Indonesia dan Australasia di Paparan Sahul.
Untuk di masa mendatang, ilmuwan masih terus mengembangkan dan 'menggali lebih dalam' lagi hasil temuan kebudayaan Wallacea yang sudah ada. Salah satu yang sedang akan dilakukan adalah menemukan bukti ada-tidaknya korelasi antara kebudayaan manusia Wallacea dengan kebudayaan 'manusia hobbit' Homo floresiensis.
Hasil studi Adam Brumm dan tim peneliti arkeologi Griffith University Australia dipublikasikan dalam jurnial ilmiah National Proceedings of the National Academy of Sciences pada 3 April 2017.