Liputan6.com, Jakarta - Pada 202 Tahun lalu, tepatnya 5 April 1815, Gunung Tambora bergemuruh dan menggelegar. Abu pun dimuntahkan dari kawahnya.
Lima hari kemudian, yakni pada tanggal 10 April 1825, sesaat sebelum Matahari terbenam Gunung Tambora di Sumbawa meletus dahsyat. Kekuatannya yang mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI), adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.
Advertisement
Letusan dahsyat itu berlangsung selama tiga hari dan berakhir pada tanggal 12 April 1815. Peristiwa kelam dalam sejarah itu diiringi halilintar sambung-menyambung bagaikan ledakan bom atom dan terdengar hingga ratusan kilometer.
Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1985. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda.
Sejumlah nakhoda kapal yang berlayar di sekitar Sumbawa menggambarkan kondisi parah kala itu. "Mereka melihat lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, yang menghalangi kapal," demikian tulis pedagang itu.
Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. Pedagang itu menggambarkan rusaknya tanaman padi dan setiap harinya ada manusia yang meregang nyawa.
Tak hanya berdampak di Indonesia, letusan Tambora berdampak ke seluruh dunia. Sebanyak 92.000 jiwa meninggal, abu dan panas menyembur melubangi atmosfer sehingga menyebabkan suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celcius.
Perubahan iklim akibat letusan terdahsyat sepanjang sejarah itu menyebabkan kekisruhan di sejumlah wilayah di dunia. Seperti dihimpun dari berbagai sumber, berikut 3 dampak dahsyat di dunia akibat letusan Gunung Tambora.
1. Satu Tahun Tanpa Musim Panas
Abu yang dihasilkan akibat letusan dahsyat Tambora, membuat belahan Bumi utara tak terjadi musim panas pada 1816. Peristiwa itu dijuluki 'the year without summer'.
Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.
Epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.
Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.
Matahari yang tak kunjung terlihat pun membuat kepanikan tidak terkendali. "Seorang gadis membangunkan bibinya dan berteriak, dunia akan segera berakhir. Sang bibi yang terkejut, bahkan sampai koma," demikian seperti digambarkan London Chronicle.
Sementara di Ghent, Belgia, pasukan kavaleri yang melintas saat badai meniup terompet mereka, tanpa diduga, dua pertiga penduduk turun ke jalan dan berlutut. Mereka mengira telah mendengar sangkakala pertanda kiamat.
Advertisement
2. Mengilhami Kisah Horor Dunia
Pada Juni 1816, pasca meletusnya Tambora, lima anak muda dari Inggris berkumpul di sebuah vila yang menghadap Danau Jenewa, Swiss. Masing-masing mengarang cerita horor untuk menakut-nakuti yang lain.
Salah satunya adalah Mary Godwin -- yang kemudian jadi Mary Shelley -- kala itu baru berusia 18 tahun.
Awalnya, di villa yang disewa Byron, mereka mendengarkan antologi cerita hantu Jerman dan hanya diterangi cahaya lilin temaram. Setelahnya, sang tuan rumah mendorong mereka untuk menciptakan cerita-cerita seram.
Suatu malam, Mary mengalami 'waking dream' atau mimpi dalam kondisi sadar. Mary kemudian menceritakannya di depan para audiens, salah satunya penyair Inggris, Lord Byron dan Percy Shelley (23).
Sementara itu, Lord Bryon menghasilkan puisi berjudul "Darkness". "Cahaya matahari padam".
Kisah Mary Shelley berawal dari gagasan tentang apa akan terjadi jika seorang ilmuwan menciptakan menciptakan kehidupan dengan cara mengalirkan listrik ke tubuh tak bernyawa.
Byron kemudian mendorong Mary untuk menuliskan kisahnya, yang kemudian diberi judul Frankenstein.
Byron mengirimkan naskah tersebut ke publisisnya, yang kemudian merespons, "Karya yang bagus untuk gadis berusia 18 tahun," demikian tulis John Malathronas, sepert dikutip dari CNN.
3. Nestapa Akibat Letusan Tambora
Badai salju melanda New England, Amerika Serikat, pada Juli 1815 dan menyebabkan gagal panen. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.
"Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus.
Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan," kata Stephen Self, profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.
Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat. Hal itu disebabkan karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.
Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.
Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya 'diawetkan' oleh dampak letusan dahsyat itu.
Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai "Pompeii di Timur."
Advertisement