Liputan6.com, Jakarta Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk menginvestigasi deretan negara penyebab defisit perdagangan bagi negaranya. Salah satu yang masuk daftar negara yang dianggap curang pemerintah Trump adalah Indonesia.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menilai, Trump menerbitkan perintah eksekutif tersebut pada 31 Maret 2017 dengan memerintahkan untuk mengumumkan negara-negara penyebab defisit perdagangan AS.
"Kenapa perintah melakukan investigasi negara-negara yang melakukan unfair subsidies itu keluar 31 Maret, karena dalam rangka kedatangan Presiden China Xi Jinping ke AS," kata dia usai Rakor Tata Niaga di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Baca Juga
Advertisement
Lebih jauh Mirza menuturkan, ada tiga kriteria suatu negara dianggap merugikan AS secara perdagangan. Hal ini bisa membuktikan bahwa Indonesia bukan termasuk negara curang seperti yang dituduhkan Trump.
Pertama, lanjut dia, negara tersebut mencatatkan surplus perdagangan dengan AS lebih dari US$ 20 miliar. Sementara surplus perdagangan Indonesia dengan Negeri Paman Sam itu, diakui Mirza hanya sekitar US$ 13 miliar.
"Kedua, negara yang merugikan perdagangan AS memiliki neraca transaksi berjalan surplus, terkait ekspor impor barang dan jasa. Sedangkan Indonesia masih mencatatkan defisit transaksi berjalan 1,8 persen-2 persen dari PDB, jadi tidak termasuk (negara curang)," jelas Mirza.
Kriteria ketiga, tambah dia, negara yang dianggap merugikan AS melakukan intervensi mata uangnya satu arah secara terus menerus selama satu tahun yang bersarnya sampai dengan 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Artinya negara itu membuat kursnya sengaja melemah sehingga bikin ekspornya lebih murah untuk masuk ke AS. Inilah yang disasar Trump, yakni negara-negara yang sengaja membuat mata uangnya melemah," dia menerangkan.
Sementara Indonesia, Mirza mengatakan, BI langsung bergerak melakukan intervensi ke pasar dalam rangka pengendalian kurs rupiah ketika terjadi gejolak.
"Kita masuk ke pasar pengendalian kurs dan yang terjadi malah mencegah rupiah terlalu lemah. Kita berupaya kurs rupiah stabil," papar dia.
Melihat data dan fakta tersebut, Mirza menegaskan, Indonesia seharusnya tidak masuk sebagai kategori negara curang seperti yang diumumkan pemerintah Trump.
"Pemerintah terus mencermati perkembangan di AS karena dari perintah eksekutif itu tiga bulan lagi akan keluar laporan mengenai negara-negara yang dianggap AS melakukan unfair subsidies. BI juga terus memantau karena ini terkait kurs juga," tegasnya.