Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan tiga peraturan turunan (POJK) sebagai tindaklanjut Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Aturan teknis tersebut diharapkan dapat membantu regulator maupun perbankan dalam penanganan krisis keuangan.
Ketua Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad mengungkapkan, tiga POJK tersebut antara lain, POJK tentang Penetapan Status dan Tindaklanjut Pengawasan Bank Umum, POJK tentang Bank Perantara, dan POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik.
"Ketiga POJK ini diterbitkan 4 April 2017, dan mulai berlaku sejak tanggal diterbitkan," tegas Muliaman saat Konferensi Pers di kantor OJK Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Baca Juga
Advertisement
Ia menuturkan, ketiga aturan turunan ini dirilis sesuai amanat UU PPKSK yang menyebut 1 tahun sejak UU PPKSK berlaku, maka harus ada aturan pelaksanaan. Itu artinya, jatuh temponya 14 April 2017.
"Paradigma baru jika sesuatu terjadi pada bank sistemik, tidak ada lagi istilah bail out. Bank diminta siapkan rencana aksi, dan OJK menyiapkan petunjuk bagaimana membuatnya," dia mengatakan.
Adapun penjelasan mengenai ketiga peraturan pelaksana tersebut, antara lain:
1. POJK tentang Penetapan Status dan Tindaklanjut Pengawasan Bank Umum memuat aturan penanganan permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun selain bank sistemik. Dalam ketentuan ini, diatur status pengawasan bank terdiri dari tiga tahap, yakni pengawasan normal, intensif, dan pengawasan khusus.
Bank ditetapkan Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) apabila memenuhi kriteria rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari delapan persen, dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi bank, berdasarkan penilaian OJK.
Penilaian itu meliputi bank mengalami permasalahan likuiditas, serta bank mengalami perkembangan likuiditas yang memburuk dalam waktu singkat.
2. POJK tentang Bank Perantara memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara, mulai dari proses pendirian, operasional, dan pengakhiran Bank Perantara. Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimilikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Keberadaan Bank Perantara membuka opsi penanganan permasalahan solvabilitas bank tidak hanya dilakukan dengan cara pengalihan sebagian atau seluruh aset atau kewajiban bank bermasalah kepada bank penerima, penyertaan modal sementara, atau pencabutan izin usaha bank, tapi juga dilakukan dengan pendirian Bank Perantara yang digunakan sebagai sarana resolusi untuk menerima aset atau kewajiban yang mempunyai kualitas baik dari bank bermasalah.
3. POJK tentang Rencana Aksi bagi Bank Sistemik memuat aturan kewajiban bank sistemik untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik dengan cara menyusun suatu rencana aksi.
Dapat Apresiasi dari Bank Dunia dan IMF
"Bank diminta membuat program recovery dengan indikator permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan kualitas aset. Recovery plan ini mengobati diri sendiri sehingga penyelesaian bukan lagi dari bail out tapi bail in atau dari dalam. Tapi belum ada bank (sistemik) yang mengajukan recovery plan," jelas Muliaman.
Dia menuturkan, pencegahan dan penanganan krisis yang dilakukan Indonesia memperoleh apresiasi dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/IMF). Muliaman mengatakan, langkah Indonesia dalam hal tersebut dipuji dua lembaga asing tersebut karena dianggap selangkah lebih maju dibanding negara lain.
"Indonesia sangat maju di bidang ini. Ketika kami di assess Bank Dunia dan IMF, Indonesia termasuk relatif maju di bidang ini. Diharapkan aturan pencegahan dan penanganan krisis bisa membantu mewujudkan stabilitas industri keuangan, di mana bank harus mampu menyelamatkan diri sendiri, seluruh pimpinan sampai pejabat paham dengan aturan ini," tegas Muliaman.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon menambahkan ketentuan saat ini tidak lagi diizinkan bank yang sakit memperoleh suntikan modal dari negara atau bail out dalam proses penyelamatan. Bank sistemik berkewajiban membuat rencana aksi.
"Langkah penyelamatan bank sistemik bisa dilakukan pemilik lama atau mengundang pemilik baru, dapat menambah modal atau mengkonversi utang pemilik atau pemilik lain. Jadi tidak ada lagi dana publik yang dipakai untuk menyelamatkan bank," ujar Nelson.
Advertisement