DPD, Riwayat dan 2 Kali Rusuh

Setelah setahun berlalu, kegaduhan di DPD kembali terulang. Bahkan lebih panas dibanding tahun sebelumnya hingga sampai beradu fisik.

oleh Devira PrastiwiTaufiqurrohmanPutu Merta Surya PutraLizsa Egeham diperbarui 05 Apr 2017, 20:02 WIB
Sidang paripurna DPD berakhir ricuh (Liputan6.com/ Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kembali menjadi sorotan awal April ini. Bukan karena kinerja atau prestasi anggotanya, melainkan kegaduhan yang terjadi saat sidang paripurna.

Kegaduhan melanda DPD di kompleks gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Senin 3 April 2017. Ricuh bermula ketika Wakil Ketua DPD GKR Hemas, yang menjadi pimpinan sidang paripurna, tiba-tiba memutuskan memberlakukan kembali Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD 5 tahun.

"Tatib 2014 kembali diberlakukan," kata Hemas langsung mengetuk palu tanda sidang ditutup di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat.

Keputusan ini sontak membuat sebagian anggota DPD berang. Terjadi hujan interupsi dan bahkan sampai memicu adu fisik dan saling tunjuk, yang berujung pada saling lapor ke polisi.

Anggota DPD Muhammad Afnan Hadikusumo melaporkan dua rekannya sesama anggota DPD atas tuduhan dugaan pengeroyokan. Dalam laporan ke Polda Metro Jaya, Afnan mengaku terluka dan merasa sakit di bagian kepala saat kericuhan terjadi di rapat paripurna, Senin siang lalu.

Tapi, salah satu yang dilaporkan, Delis Julkarson Hehi, tak menerima pelaporan tersebut. Dia mengancam akan melaporkan balik Muhammad Afnan jika tak mencabut laporannya.

"Bisa jadi (laporkan balik), saya masih pertimbangkan itu, bagaimanapun juga dia sahabat kita juga. Tapi kalau dia tidak mencabut laporannya dan terus memperoses dan dia tidak bisa membuktikan, saya akan laporkan balik," Delis menegaskan.

Kericuhan ini sampai-sampai membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutnya sebagai hal memalukan. "Kita menyesalkan apa yang terjadi di DPD semalam. Dan itu terus terang memalukan kita, baik dalam negeri, khususnya luar negeri," ucap Kalla di kantornya, Jakarta, Selasa 4 April 2017.

Ricuh yang terjadi pada 3 April lalu nyatanya bukan yang pertama. Kegaduhan juga pernah melanda anggota DPD periode 2014-2019 pada pertengahan Maret tahun lalu. Tepatnya sekitar 1,5 tahun setelah mereka duduk di kursi DPD RI.

Ricuh terjadi pada Kamis 17 Maret 2016, ketika Ketua Badan Kehormatan DPD AM Fatwa, meminta pimpinan DPD saat itu: Irman Gusman, Farouk Muhammad, dan GKR Hemas menandatangani Tatib Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur tentang masa jabatan Pimpinan DPD 2,5 tahun.

"Ini momen terakhir pimpinan untuk tanda tangan di muka sidang. Bila tidak, kita sulit memperhitungkan apa yang akan terjadi nanti," ujar AM Fatwa. Kontan saja aksi AM fatwa itu membuat sebagian anggota DPD marah. Namun sebagian lagi mendukung aksi itu dan mendesak agar pimpinan DPD segera menandatangani Tatib 2016 tersebut.

"Jangan akal-akalan!" teriak salah satu anggota DPD kepada Irman Gusman di kompleks parlemen, Kamis 17 Maret 2016. Suara gebrak meja pun terdengar di antara ribut bergantian interupsi. Di tengah-tengah kericuhan, Irman tiba-tiba menutup sidang. Suasana justru semakin memanas.

Kini setelah setahun berlalu, kegaduhan itu kembali terulang. Bahkan lebih panas dibanding tahun sebelumnya yang tak sampai beradu fisik.

 


Riwayat DPD

Dikutip dari situs dpd.go.id, DPD RI dibentuk pada November 2001. Pembentukan DPD berawal dari perubahan ketiga UUD 1945 yang membuat sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral.

Perubahan sistem memicu munculnya gagasan untuk mengakomodasi aspirasi daerah, dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Gagasan ini pun dibahas panjang, hingga sampai pada pemikiran perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi.

Sebelum ada DPD, keterwakilan daerah di parlemen ditandai dengan adanya Fraksi Utusan Daerah di MPR RI. Namun setelah perubahan UUD 1945, Fraksi Utusan Daerah dinilai tidak memadai, sehingga perlu dipikirkan bentuk lain keterwakilan daerah di Parlemen.

Fraksi Utusan Daerah sendiri sebelumnya bernama Forum Utusan Daerah, dan kemudian diganti menjadi Fraksi Utusan Daerah yang kemudian diresmikan oleh Ketua MPR Amien Rais pada 25 November 2000.


Terbelah dan Rusuh

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu.

Fungsinya, mengacu pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI, sebagai legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Sedangkan tugas dan wewenang DPD adalah mengajukan usul rancangan undang-undang, pembahasan undang-undang, pertimbangan atas RUU, memilih anggota BPK, dan mengawasi pelaksanaan UU.

Dari situs dpd.go.id diketahui, keberadaan DPD RI periode 2014-2019 merupakan yang ketiga setelah DPD periode 2004-2009 dan periode 2009-2014.

Anggota DPD periode 2014-2019 yang berjumlah 132 orang, mulai menduduki kursi senator di kompleks parlemen, Senayan, setelah dilantik pada Rabu 1 Oktober 2014.

Dibanding DPD dua periode sebelumnya, DPD saat ini lebih sering membuat kegaduhan. Meski belum 3 tahun menjadi senator, anggota DPD periode 2014-2019 tercatat sudah dua kali membuat kegaduhan besar.

Usut punya usut dua kegaduhan dipicu oleh masalah yang sama yakni soal masa jabatan pimpinan DPD. Masalah ini bahkan membuat anggota DPD sekarang terbelah dua, yakni kelompok yang pro Tatib 2017 dan kelompok yang kontra.

Berdasarkan undang-undang, masa jabatan pimpinan DPD 5 tahun. Namun dalam perjalanannya, sebagian anggota DPD menginginkan pimpinan DPD tak lama-lama berkuasa, hingga muncullah Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur tentang masa jabatan Pimpinan DPD 2,5 tahun.

Tapi sebagian lagi, menentang hal ini. Mereka menginginkan masa jabatan pimpinan DPD tetap lima tahun seperti yang telah diatur dalam Tatib No. 1 Tahun 2014. Salah satu senator yang ingin masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun adalah politikus senior AM Fatwa. Sementara yang ingin tetap 5 tahun adalah Gusti Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengkubuwono X.

Perseteruan antara dua kelompok di DPD ini sampai membuat mereka megajukan judicial review untuk menggugurkan Tatib 2016 dan menghidupkan kembali Tatib 2014.

Uji materi yang diajukan 6 anggota DPD ini kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan keputusan pada 21 Februari bahwa masa jabatan pimpinan DPD menjadi 5 tahun sesuai UU, dan menyebut Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dengan putusan MA ini berarti Tatib 2016 yang menyebutkan masa jabatan DPD 2,5 tahun gugur. Namun, ricuh telah terjadi dan dalam kericuhan itu para senator mengangkat Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD yang baru (sesuai Tatib 2016) menggantikan M Saleh.

Namun pengangkatan Oesman ini ditentang. Hemas meminta agar MA segera membatalkan pelantikan Oesman Sapta Odang atau OSO sebagai Ketua DPD RI 2014-2019.

"Saya kira langkah dari kami adalah pembatalan oleh Mahkamah Agung dalam pelantikan (Oesman) kemarin," ujar Hemas di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/4/2017). Dia memberikan waktu 24 jam kepada MA untuk menjelaskan ke publik masalah ini dan membatalkan kepemimpinan Oesman.

"Demi menjaga keluhuran martabat dan kewibawaan MA, kami minta dengan segera MA untuk membatalkan tindakan pengambilan sumpah tersebut," tegas Hemas.


Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya