Liputan6.com, Jakarta - Kurang dari setengah tahun, polisi menangani dua kasus dugaan pemufakatan makar. Penangkapan terhadap sejumlah orang dengan tuduhan makar itu pertama kali dilakukan pada Jumat 2 Desember 2016 dini hari atau sesaat sebelum Aksi 212 berlangsung.
Para tersangka yang ditangkap yakni Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, Rizal, dan Ahmad Dhani.
Advertisement
Kemudian penyidik Polda Metro Jaya kembali menangkap sejumlah orang dengan tuduhan serupa pada Jumat 31 Maret 2017 dini hari. Penangkapan itu juga dilakukan jelang pelaksanaan unjuk rasa yang disebut Aksi 313.
Mereka yang ditangkap karena aksi makar jilid II ini adalah Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath, Zainuddin Arsyad, Irwansyah, Dikho Nugraha, dan Andry.
Polisi mengaku mempunyai alat bukti untuk menjerat mereka dengan tuduhan makar. Polisi menyebut mereka berencana menduduki gedung DPR-MPR.
Aksi makar sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sejak dulu. Berikut lima aksi makar paling terkenal yang terjadi di Indonesia:
Aksi Makar 3 Juli 1946
Peristiwa 3 Juli 1946 adalah aksi makar atau kudeta pertama di Indonesia. Ketidakpuasan pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap Belanda, menyebabkan percobaan kudeta terhadap pemerintah kabinet Sutan Sjahrir.
Berita rencana penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun tercium. Pemerintah kemudian bergerak cepat dengan menangkap tokoh-tokoh oposisi seperti Tan Malaka, Achmad Soebardjo, dan Sukarni. Mereka dituduh hendak melakukan percobaan kudeta kepada Sutan Sjahrir.
Namun, Sutan Sjahrir berhasil diculik oleh kelompok tak dikenal pada 3 Juli 1946. Karena situasi ini, maka Presiden Soekarno menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
Kemudian pada 3 Juli 1946, Mayor Jenderal Sudarsono sebagai pelaku utama penculikan menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya, dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani Presiden. Peristiwa inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai percobaan kudeta, karena bersifat memaksa Presiden untuk menyanggupi permintaan mereka.
Seperti dikutip dari buku Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia, adapun permintaan mereka adalah Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II, Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik, Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Serta Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Tak terima dengan permintaan tersebut, Presiden memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Mayor Jenderal Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara.
Advertisement
Pemberontakan PKI 1948 di Madiun
Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan komunis yang terjadi pada 18 September 1948 di kota Madiun.
Pemberontakan ini dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai kiri lainnya, yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Namun, Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet menawarkan gagasan yang disebutnya Jalan Baru untuk Republik Indonesia.
Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut Komite Front Nasional.
Musso kemudian menggelar rapat raksasa di Yogyakarta. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda.
Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak terlibat adudomba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia.
Hari berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama di Pati, Jawa Tengah.
Kudeta Ratu Adil 23 Januari 1950
Peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil terjadi pada 23 Januari 1950. Kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling, yang juga mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui.
Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada November 1949, Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Organisasi itu bernama Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL.
Pada 5 Desember malam sekitar pukul 20.00, Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno.
Pada Kamis 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada Pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan.
Selain itu, Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. Tercatat 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong. Sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud, menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan.
Namun, dukungan dari pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal.
Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950, Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya untuk menangkap Sukarno.
Namun, rencana Westerling tak pernah terwujud. Dia kekurangan senjata dan ditinggalkan orang-orang yang semula mau ikut gerakan APRA yang dipimpinnya.
Advertisement
Gerakan DI TII 7 Agustus 1942
Negara Islam Indonesia (NII) adalah kelompok Islam yang bertujuan untuk membentuk negara Islam di Indonesia. Ini dimulai pada 7 Agustus 1942 oleh sekelompok milisi Muslim. Kelompok itu dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kelompok ini mengakui syariat Islam sebagai sumber hukum yang valid. Gerakan ini telah menghasilkan pecahan maupun cabang yang terbentang dari Jemaah Islamiyah ke kelompok agama non-kekerasan.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia, yang saat itu baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda, sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam proklamasinya hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam. Kemudian hukum yang tertinggi adalah Alquran dan Sunah.
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap hidup diam-diam meskipun dinyatakan sebagai organisasi ilegal oleh Pemerintah Indonesia.
Gerakan 30 September 1965
Kudeta paling terkenal dalam sejarah Indonesia adalah Gerakan 30 September (G 30 S). Pelaku utama pemberontakan, yang dilancarkan sejak 30 September 1965 ini, adalah Letnan Kolonel Untung, salah satu komandan batalyon Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, Cakrabirawa.
Untung tak bertujuan menggulingkan Presiden Sukarno. Ia dituduh mengkudeta untuk PKI. Untung menculik dan menghilangkan nyawa para petinggi Angkatan Darat seperti Letnan Jenderal Ahmad Yani dan jenderal lainnya. Kudeta ini juga tanpa arah.
Sehari kemudian, 1 Oktober 1965 dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Banyak versi mengenai dalang dari peristiwa tersebut. Namun, yang paling melekat dalam ingatan rakyat Indonesia, gerakan ini diotaki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ada yang menyebut Soeharto sebagai dalang. Versi Soeharto sebagai dalang kudeta tersebut muncul dari kecurigaan nama Panglima Kostrad itu tidak masuk dalam daftar anggota AD yang diculik. Terlebih, Soeharto adalah jenderal yang biasa mewakili Panglima AD dalam sejumlah kesempatan.
Teori ini mengemuka dari pendapat Willem Frederik Wertheim, seorang profesor dari Municipal University of Amsterdam. Hal itu dituangkannya dalam artikel berjudul Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link (1970).
Spekulasi mengenai peran Soeharto dalam merencanakan aksi ini muncul ketika dia membuat cerita tidak konsisten mengenai perjumpaannya dengan Kolonel Latief.
Advertisement