Liputan6.com, Jakarta - Hukum Indonesia diwarnai dengan serangkaian kasus. Dari kasus makar hingga anak gugat orangtua. Kasus anak menggugat orangtua setidaknya terjadi di dua daerah yakni, Garut Jawa Barat (Jabar) dan Penjaringan, Jakarta Utara.
Pangkalnya adalah soal ekonomi, yakni harta warisan atau soal utang piutang. Dua kasus itulah yang terjadi di Garut, Jabar dan di Penjaringan, Jakarta Utara.
Advertisement
Johanes, warga Penjaringan, Jakarta Utara, kini harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Ia dilaporkan anak dan menantunya pada 2016. Johanes diduga melanggar pasal 372 KUHP tentang penggelapan dengan ancaman 4 tahun penjara.
Johanes yang berumur 60 tahun itu mengaku heran dengan anak dan menantunya itu yang kompak menuduhnya menggelapkan sertifikat tanah senilai Rp 4 miliar.
"Itu memang saya buat atas nama dia. Tapi maksud saya nanti dulu, sabar, saya kan masih hidup paling sebentar lagi. Semenjak menikah anak saya kok tega. Langsung menghilang aja dari awal nikah, kembali seperti itu tingkahnya," kata Johanes saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta Utara, Rabu, 5 April 2017.
"Itu memang saya wariskan buat dia (Robert). Tapi saya masih hidup, saya malah dilaporin lalu dipenjarain," dia melanjutkan.
Terkait perseteruan dengan anak dan menantunya itu, ia mengaku sempat terpikir ingin bunuh diri. Apalagi, menantunya itu adalah anak angkat Johanes yang diajak dari Medan, Sumatera Utara.
Kasus Ayah Anak
Johanes mengaku nyaris bunuh diri lantaran perseteruan dengan anak dan menantunya itu. Yang ia sesalkan, sang menantu juga merupakan anak angkatnya yang diajaknya dari Medan, Sumatera Utara.
"Jadi Robert anak saya, nah mantu ini anak angkat saya makanya saya jodohin, saya nikahin mereka. Kok, setelah menikah mereka malah mau memenjarakan saya? Padahal itu nanti juga jadi warisan mereka kan. Tapi saya ini masih hidup, ya sama aja diusir," ujar dia.
Kasus anak gugat orangtuanya ini tercatat dalam nomor perkara 1119/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Yasin mengatakan, pihaknya tidak melihat hubungan keluarga antara Johanes yang merupakan terdakwa dengan Robert yang merupakan korban.
Dalam pertimbangan hukum, ia menjelaskan, pihaknya tidak mengenal saudara tapi pokok perkara. Johanes dan Robert adalah hubungan ayah dan anak.
Dalam menuntut suatu perkara, ia menambahkan, pasti melalui bukti, fakta dan pertimbangan serta ketentuan hukum yang ada.
"Pertimbangan hukum anak dan ayah tidak ada masalah dalam hukum. Dituntut (3 tahun) itu karena orang tua korban membeli tanah tersebut dengan cara mentransfer uang ke bank. Dan uang itu menurut korban berasal dari ibunya anak (Jessica)," kata Jaksa Yasin di PN Jakarta Utara, Kamis (6/4/2017).
Siti Rohayah Digugat Anak
Sementara di Garut, Jawa Barat, sang ibu Siti Rohayah harus menjalani sidang karena berperkara dengan anaknya Yani Suryani dan suaminya. Sang anak menempuh sengaja menempuh proses hukum tersebut lantaran sejumlah jalan komunikasi yang ditempuhnya menemui jalan buntu.
Yani Suryani dan suaminya, Handoyo Adianto, menggugat ibunya, Siti Rohayah, sebesar Rp 1,8 miliar. Handoyo dan istrinya mengaku nilai itu wajar, karena sesuai hasil perhitungan kurs rupiah dan emas yang berlaku saat ini.
"Kita tidak bisa melihat nilai dulu dengan nilai sekarang adalah sama. Sebelah rumah ibu (Siti Rohayah), yang berada di Jalan Ciledug Nomor 194, harganya waktu itu Rp 40 juta. Harga emas waktu itu, sekitar Rp 50 ribuan," kata Handoyo saat ditemui di kediamannya, di perumahan Harapan Indah, Medan Satria, Kota Bekasi, Selasa, 28 Maret 2017.
"Efek dari perkembangan kurs rupiah dan nilai emas dan segala macam, itu kan dalam nilai ekonomi, atau dalam kasus perdata kan harus dipertimbangkan," kata dia lagi.
Menantu Siti Rohayah itu menjelaskan, kasusnya itu terjadi 16 tahun lalu. Harga rumah Siti Ruhayah dahulu Rp 41.500 dikalikan 1,02 persen. Persentase itu didapat dari 100 persen ditambah 2 persen lalu dipangkatkan jadi 192.
"Jadi bisa dihitung sendiri berapa nilai itu. Dan nilai itu setara dengan perundangan nilai properti yang dijaminkan sekarang," kata dia.
Awal Perkara
Perkara hukum ini bermula, Handoyo menceritakan, dari rencana Asep Rohendi, yang juga merupakan anak Siti Rohayah. Asep saat itu mengajak Siti Rohayah membuat pabrik dodol di kediaman mereka di Jalan Raya Ciledug, Nomor 196, Kota Garut, Jawa Barat, pada 1997 hingga 1998.
Saat membangun pabrik dodol itu, Siti Rohayah dan Asep menjaminkan sertifikat rumah tersebut ke pihak perbankan sebagai modal.
"Sejak awal kami itu tidak setuju, meminjamkan sertifikat rumah sebagai jaminan atau boroh ke salah satu bank swasta. Apalagi, rumahnya akan dijadikan rumah dodol," ucap Handoyo.
Pada 2001, usaha dodol tersebut bangkrut. Asep lalu meminjam uang kepada istri Handoyo, Rp 40 juta.
"Ada penyerahan uang tunai yang tidak diakui oleh kakak kami. Apa mungkin dia sudah lupa karena sudah 16 tahun? Yang pasti kami punya bukti-bukti itu," kata dia.
Nah, saat meminjam uang kepada Yani, Siti Rohayah rupanya turut menandatangani surat pernyataan kepemilikan utang yang diminta Asep Rohendi.
"Kerugian yang diderita pada 2001 itu, sehingga ibu kami memerlukan bantuan dari kami," ungkap Handoyo.
Sedangkan Yani terpaksa memenuhi keinginan kakaknya untuk menebus sertifikat rumah yang telah digadaikan sebelumnya ke bank.
"Padahal, sumber dana kami juga dari bantuan pihak bank," ucap Handoyo.
Pembagian Harta Warisan
Singkatnya, setelah lolos dari jeratan utang bank dan sertifikat rumah berhasil diraih kembali, Handoyo dan istrinya menerima undangan. Isi undangan tentang pembagian harta warisan dan penjualan rumah.
"Kenapa gugatan ini timbul, karena tiba-tiba ada undangan. Undangan ini dengan bahasa Sunda, yang isinya tentang pembagian waris. Karena ada usaha membagikan, rumah Ciledug dan dijual sebagai warisan itu, sebenarnya membuat kami kecewa," kata dia.
Handoyo menegaskan, rumah di Jalan Ciledug itu sepenuhnya milik Siti Rohayah. Karena itu tidak bisa dibagiwariskan, karena nenek 81 tahun itu masih hidup dan dalam kondisi sehat.
"Kalau hanya sakit-sakit sepuh itu biasalah. Tapi kondisinya beliau kan sehat, bahagia, sehingga pembagian warisan itu tidaklah tepat," ujar dia.
Atas hal tersebut, Handoyo dan istrinya melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Garut. "Saya tidak perlulah sebut siapa orang di belakang itu. Namun, ibu (Siti Rohayah), menurut saya hanya menjadi korban dari orang yang hendak mengambil untung dari hal itu," kata dia.
Handoyo berharap agar kasus utang piutang tersebut tidak dibesar-besarkan. Sehingga, lari dari pokok perkara perdata yang mereka layangkan.
"Kasus ibu digugat anak ini, tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang besar, karena sidangnya ini untuk menentukan hak-hak pribadi seseorang. Bahwa yang sebenarnya adalah hanya hitung-hitungan hak dan kewajiban, karena ibu dan tergugat dua, Pak Asep, pernah bertukang dagang dengan kami," kata dia.
"Dan kami juga memakai untuk bertukang dagang yang kami dapatkan dari pinjaman ke perbankan bank swasta secara komersial. Seolah kami tidak boleh menagih. Tetapi kepada Bapak Asep tidak boleh diapa-apakan. Padahal dia yang memanfaatkan dan menjalankan usaha itu bersama-sama Ibu, malah tidak diapa-apakan," dia melanjutkan.
Karena itu, Handoyo memohon agar kasus tersebut diluruskan. Apalagi, kasus anak gugat ibu kandung ini telah memojokkan pribadinya sebagai "anak durhaka". "Tidak ada isu-isu yang gambarnya, ada seorang orangtua buta dipenjara."
"Ada juga yang gambarnya orang diseret, itu adalah pembelokan dari fakta sebenarnya. Tidak ada kata-kata, kalimat yang mengharuskan bahwa (pelapor) menyeret ibu kandungnya ke penjara. Sehingga ceritanya menjadi tidak baik, yang akibatnya mengaburkan gugatan," demikian Handoyo.
Advertisement