Liputan6.com, Jakarta - Hujan reda. Ribuan orang hadir, 19 April 1966 itu, di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bung Hatta menyampaikan pidato untuk Sutan Sjahrir.
Pada salah satu bagian pidato, Hatta berujar, "Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka."
Advertisement
Sjahrir wafat pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Stroke dua kali menyerangnya. Usai serangan kedua di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta, keluarga meminta ke pemerintah agar perdana menteri pertama RI ini diizinkan berobat keluar negeri.
Di RTM itu, pada suatu malam, Sjahrir ditemukan terkapar di kamar mandi akibat serangan stroke. Pertolongan medis tidak segera diberikan. Keesokan harinya baru dia dibawa ke rumah sakit dan dioperasi. Namun, operasi gagal dan Sjahrir tidak lagi bisa bicara.
Pada 21 Juli 1965, dengan diantar sejumlah rekan, Sjahrir berangkat ke Swiss. Pemerintah menanggung semua biaya pengobatan.
Tapi, para dokter di Zurich gagal menyembuhkan. Pada awal April 1966, Sjahrir kembali diterjang stroke. Ia koma selama tujuh hari, sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir dalam status tahanan.
Kisah penahanannya bermula dari undangan dari Anak Agung Gede Agung pada 18 Agustus 1961. Mantan Menteri Luar Negeri RI dalam kabinet Burhanuddin Harahap ini menggelar upacara ngaben untuk ayahnya, Raja Gianyar.
Maka, datanglah Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Roem, Sultan Hamid II, dan sejumlah tokoh lain untuk memenuhi undangan Anak Agung Gde Agung. Tapi belakangan pertemuan ini disebut sebagai ajang konspirasi subversif oleh Soebandrio, yang kala itu menjabat Menteri Luar Negeri dan Kepala Pusat Intelijen.
Selanjutnya, pada 16 Januari 1962, Sjahrir ditangkap di rumahnya. Kemudian Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo, dan Sultan Hamid II pun dicokok. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh Roem dan Prawoto Mangkusasmito juga ditangkap. Hanya Hatta, kolega berpolitik Sjahrir sejak 1920-an di Belanda, yang tak disentuh.
Bersama para tahanan politik lain, Sjahrir ditempatkan di sebuah rumah di Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tiga bulan kemudian mereka dipindahkan ke Madiun, Jawa Timur. Di sana mereka diperlakukan dengan cukup baik.
Jurnalis Rosihan Anwar, dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, menulis, "Keadaan di penjara Madiun dengan sipir yang bersikap luwes cukup membantu para penghuninya supaya tidak terlalu stress. Ada kolam renang, ada lapangan tenis. Keluarga dan handai taulan gampang berkunjung."
Dibuang ke Boven Digul dan Banda Neira
Pada November 1962, dokter keluarga mendapati tensi Sjahrir demikian tinggi. Ia lalu dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Setelah membaik, ia dipindahkan ke penjara di Jalan Keagungan, Jakarta. Pada Februari 1965, ia dipindahkan lagi ke RTM Budi Utomo -- tempatnya mengalami stroke kedua.
Penjara dan pengasingan bukan hal baru buat pria kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini. Pada 1934 sampai 1942, Sjahrir hidup dalam pengasingan rezim kolonial di Boven Digul, Banda Neira, dan Sukabumi. Semua itu akibat kegiatan politik Sjahrir di PNI Baru bersama Hatta dan sejumlah kawan mereka.
Jika penjara Madiun terbilang manusiawi, pengasingan di Boven Digul adalah mimpi buruk. Kawasan di pelosok Papua tersebut dibangun Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927 sebagai lokasi pembuangan tahanan politik. Tempat itu dikepung rimba raya. Jauh dari mana-mana. Kian mencekam karena kehadiran nyamuk malaria yang ganas.
Andai mau kabur, pilihan terbaik adalah Kepulauan Thursday, Australia. Tapi, siapa pun mesti menyusuri 500 kilometer aliran Sungai Digul yang penuh buaya, lantas menyeberangi Selat Torres. Setiba di Australia, harus awas dengan polisi. Jika tertangkap, dipulangkan ke Digul.
Ketika Jepang datang, Sjahrir dibebaskan. Berbeda dengan Sukarno dan Hatta yang bekerja sama sengan rezim fasis Jepang, Sjahrir bergerak di bawah tanah. Dalam Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno menyindir, "Apa sih underground Sjahrir itu? Hanya mendengarkan siaran radio luar negeri secara diam-diam."
Anak jaksa ini memang kerap tak akur dengan Sukarno. Dengan Hatta, Sjahrir lebih sejalan.
Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 terjadi, Sjahrir tak hadir di Pegangsaan Timur No 56. Ada yang bilang dia tidur di rumahnya di Menteng, Jakarta. Ada yang bilang dia di luar Jakarta.
Dua hari sebelumnya, 15 Agustus 1945, ada pembacaan teks proklamasi kemerdekaan di Cirebon oleh dr Soedarsono. Sjahrir yang menyusun teks tersebut. Namun, teks itu hilang sampai sekarang.
Sjahrir memang bersikeras agar proklamasi bebas sepenuhnya dari pengaruh Jepang. Sementara, Sukarno dan Hatta masih coba menyelaraskan dengan agenda Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang.
"Sjahrir sudah bikin teks proklamasi. Jadi banyak orang tidak tahu, teks proklamasi itu ada dua, yang dibuat Sukarno dan Hatta di rumah Maeda, dan versi sebelumnya ditulis pada 14 Agustus oleh Sjahrir," ujar sejarawan JJ Rizal kepada Liputan6.com.
Rizal menerangkan, teks proklamasi buatan Sjahrir itu panjang dan kalimat-kalimat di dalamnya seperti cerita pendek. Kata-kata yang ditulisnya itu bahkan berbau anti-Jepang dan berapi-api.
Sjahrir muncul lagi pada pertengahan Oktober 1945, saat menyiarkan pamfletnya yang tersohor: Perjuangan Kita.
Advertisement
Masuk ke Pusat Kekuasaan
Secara substansial, Perjuangan Kita adalah kritik keras terhadap perjalanan revolusi yang diwarnai kehadiran para tokoh yang pernah berkolaborasi dengan Jepang dan rembesan nilai-nilai fasisme. Suami Siti Wahyunah atau Poppy ini kembali diperhitungkan.
Pada November 1945, ia ditunjuk menjadi perdana menteri. Sistem ketatanegaraan memang berubah dengan cepat, menjadi parlementer. Sukarno dan Hatta cuma jadi simbol.
Rosihan Anwar mencatat Sjahrir dinilai tak pernah menjadi antek Jepang, Karena itu, perundingan jadi dimungkinkan.
"Sebelum itu, pemerintah Belanda tidak menyetujui wakilnya berbicara dengan Presiden Sukarno, karena Sukarno dipandang sebaga penjahat perang," tulis Rosihan.
Sukarno dianggap sebagai penjahat perang karena ikut dalam rezim fasis Jepang selama Perang Dunia II.
Perundingan demi perundingan dilalui. Beberapa kali Sjahrir menjadi ketua delegasi Indonesia. Misalnya di perundingan Linggarjati
Semua berujung di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Desember 1949, saat terjadi pengakuan kedaulatan.
Namun, Sjahrir kian tersisih. Apalagi partainya, Partai Sosialis Indonesia (PSI), hanya memperoleh lima kursi di Parlemen dalam Pemilu 1955. Bandingkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendapat 39 kursi.
Lalu tiba momen penangkapan itu, 16 Januari 1962. Sebelumnya, pada Agustus 1960, PSI dibubarkan karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sejumlah pentolan PSI, misalnya Soemitro
Djojohadikoesomo (ayah Prabowo Subianto), mengasingkan diri ke luar negeri.
Nestapa berakhir pada 9 April 1966. Meninggal sebagai tahanan, Sjahrir dimakamkan sebagai Pahlawan Nasional. Presiden Sukarno merilis dekrit yang menobatkan Sjahrir dalam status tersebut. Ayah dua anak ini pun berhak dimakamkan di Kalibata.
Wakil Perdana Menteri Dr J Leimena bertindak sebagai inspektur upacara. Dengan suara datar dan sesekali tersendat, Bung Hatta melepas Sjahrir.
"Saudaraku, Sutan Sjahrir, sampai di sinilah kami mengantarkan engkau dalam perjalanan pulang ke kampung akhirat. Di sana engkau akan mendapati rumah peristirahatan yang tetap, kekal, dan abadi. Beristirahatlah dengan tenang," ujar Hatta dalam pidatonya.