Liputan6.com, Karachi - Bagi Zia Shah, menerima beasiswa Fulbright untuk belajar di University of Chicago bak mimpi yang terwujud. Namun, baru juga satu tahun sekolah di AS, dan mengajar murid sekolah Pakistan tentang pentingnya toleransi mimpinya itu kandas.
Zia baru masuk di University of Chicago tahun ajaran baru ini. Lalu, ia menyempatkan pulang kampung mengunjungi orangtuanya saat liburan musim dingin.
Advertisement
Pada 4 Januari, ia menuju bandara dari rumahnya di Karachi untuk kembali ke AS. Namun, sesampainya di bandara, ia sama sekali dilarang masuk ke pesawat untuk kembali ke kampus dan meneruskan sekolahnya.
Staf di bandara mengaku mereka mendapatkan 'email rahasia' dai AS yang melarang Zia untuk kembali ke AS melanjutkan studi tentang agama dan kepercayaan yang disponsori oleh pemerintah AS.
"Saat itu saya nyaris tak percaya," kata Zia kepada The Independent, Selasa (11/4/2017).
"Saya berpikir seluruh usaha saya hilang, dan semuanya hancur lebur, ini tak seperti mimpi buruk," lanjutnya.
Zia bukan tipe orang yang terdaftar dalam DPO interpol terkait terorisme. Ia adalah mahasiswa berusia 25 tahun dengan ambisi untuk mengajarkan anak-anak tentang perdamaian.
Tahun 2014 ia mendapatkan dana dari United States Agency for International Development (Usaid) untuk membangun Ravvish, sebuah organsisasi yang menggelar tempat kursus bagi remaja yang berbeda agama dan kepercayaan.
"Saya lebih mengerti apa itu kepercayaan dan budaya lain jika kota bertemu langsung dengan orang lain. Itu juga mengasah toleransi kita semua," kata Zia.
"Pekerjaan saya dalam organisasi itu adalah membuat manusia yang berbeda-beda latar terhubung sehingga negatif stereotipe akan hilang dan kedamaian antar warga Pakista serta negara lain seperti tetangga kita India tercipta," lanjttnya.
Zia sendiri adalah muslim. Ia membentuk Ravvish untuk melawan anti-ekstremisme yang makin berkembng di Pakistan.
Zia tumbuh dengan sejarah kekerasan antara Pakistan dan India hingga ancaman Taliban. Tak hanya itu, ia menyaksikan sendiri bagaimana pamannya tewas ditembak pada 2010 sebagai bagian dari serangan kepada Syiah.
Menyaksikan semua itu, Zia merasa harus ada sesuatu yang diperpuat. Jadi dia melakukannya dari level paling bawah.
"Kami memulai dari sekolah-sekolah dan masuk ke kurikulum. Kami menghubungkan para siswa dengan orang-orang di India, China, Jepang, AS, Jerman dan lainnya," beber Zia terkait organisasinya.
"Ini adalah pendekatan pribadi yang ingin mengatakan, tak masalah menjadi sosok yang berbeda," ujarnya.
Organisasinya melawan ekstremisme dengan pendidikan. Dalam dua tahun, organisasinya telah mengajar lebih dari 1.000 siswa dan memiliki bengkel di berbagai kota.
Ravvish mendapat perhatian internasional karena terutama World Bank dan seorang siswa dari University College London (UCL) yang memonitor program itu.
Menurut riset UCL, anak-anak jauh lebih empati dan ingin berinteraksi dengan orang yang beda agama setelah mengikuti program milik Zia ini.
Berkat ketekunan ini, ia melamar beasiswa Fulbright di University of Chicago mempelajari Islamic Studi.
Dilarang kembali masuknya Zia ke AS tak hanya membuat sanak famili di Pakistan kaget, tetapi guru dan temannnya di Chicago pun terkejut.
"Zia adalah permata," kata Yousef Casewit, dosen yang mengajar Zia di semester pertama. "Saya menunggunya agar ia bisa bergabung dalam kelas saya kuartal ini."
"Dia mengembangkan kurikulum pendidikan untuk mempromosikan perdamaian agama. Ironisnya, ia justru ditolak masuk ke Amerika Serikat."
Zia menggambarkan pengalamannya di bandara saat itu cukup membuatnya khawatir.
"Saya hanya akan membayangkan ini terjadi di film-film," katanya. "Kita semua cerita tentang orang yang ditahan tanpa alasan.”
Dia bilang dia punya firasat bahwa sesuatu tampaknya tidak benar, meskipun petugas bersikap ramah dan ingin tahu dalam pendekatan mereka, dan mengklaim mereka "hanya melakukan pekerjaan".
Setelah tiga bulan, Zia masih tidak memiliki penjelasan mengapa dia dilarang kembali untuk menyelesaikan sekolahnya di Chicago.
Ia juga bolak-balik ke kedutaan besar AS di Karachi dan tidak berhasil. Staf memberinya harapan jawaban yang cepat, tapi bahkan setelah menyerahkan paspornya dan mendaftarkan visa yang sama, belum ada terobosan.
Zia juga mewanti-wanti kolega Pakistannya yang masih di AS agar tidak pulang kampung lagi sampai mereka lulus karena takut mendapatkan pengalaman serupa.
Meski tak ada jawaban dari pemerintah AS, pihak University of Chicago dan Fullbright elah melakukan banyak cara. Termasuk masih membolehkan Zia kuliah pada September mendatang.
Perawakilan universitas juga telah melayangkan surat kepada otoritas AS di Pakistan.
Namun, hingga saat ini tak ada jawaban.
"Ini seperti mimpi. Saya berharap saya bangun dari tidur di kamar saya di Chicago ... bukan di Pakistan. "