Pengakuan Saksi Eksekusi Mati: Merinding, Tak Bisa Tidur, Lalu...

Di sejumlah negara bagian AS yang masih menerapkan hukuman mati dibutuhkan saksi eksekusi dari masyarakat umum. Berikut pengalaman mereka.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 12 Apr 2017, 09:36 WIB
Ilustrasi Eksekusi Mati (Liputan6.com/Deisy Rika)

Liputan6.com, Virginia - Pasangan Teresa dan Larry Clark memutuskan berpartisipasi menjadi relawan. Bukan untuk kemanusiaan seperti kebanyakan orang banyak, namun mereka menjadi saksi eksekusi mati seorang kriminal.

Sejauh ini Teresa telah menyaksikan tiga kematian orang. Pertama kali bertugas, ia memegang tangan sang suami, Larry. Namun, setelah itu ia memadangnya sebagai hal yang biasa.

"Awalnya merinding dan tak bisa tidur, setelahnya... biasa saja," kata Teresa.

Pasangan yang memiliki bisnis pembersih cerbong asap di Weynesboro, Virginia memutuskan untuk jadi relawan saksi eksekusi mati tahanan.

"Larry dulu yang memutuskan jadi relawan, saat aku tanya pengalamannya, ia justru memintaku untuk merasakannya sendiri," kata Teresa seperti dikutip dari BBC, Rabu (12/4/2017.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti jejak sang suami. Dan pada tahun 1998, keduanya menjadi saksi eksekusi pembunuh berdarah dingin Douglas Buchanan Jr.

Terpidana terbukti telah membunuh sang ayah, ibu tiri dan dua saudara tirinya.

Saksi seperti Teresa dan Larry Clark adalah kebutuhan legal. Di Virginia dan beberapa negara bagian AS yang masih menerapkan hukuman mati, undang-undang mewajibkan ada orang --yang tak memiliki hubungan apapun dengan terpidana-- menjadi saksi bagi kematian mereka saat eksekusi berlangsung.

"Para relawan itu adalah saksi mata dari pihak masyarakat umum. Mereka harus berdiri melihat eksekusi berlangsung," kata Robert Dunham, direktur eksekutif dari Death Penalty Information Center..

"Proses ini mewajibkan adanya perwakilan dari kelompok masyarakat biasa," ujar Dunham lagi.

Di suatu malam eksekusi Buchanan, Teresa dan Larry dan relawan lainnya dijemput oleh bus penjara dan dibawa ke penjara Greensville Correctional Facility di Jarratt, Virgina. Setelah menghabiskan beberapa waktu untuk berbincang-bincang dengan reporter di kafe, para saksi umum ini digiring ke sebuah ruangan kecil.

Ruangan itu memiliki cahaya yang terang dengan jendela besar. Ketika korden dibuka, mereka melihat si terpidana Buchanan masuk ke ruangan eksekusi.

Ketika ditanya apakah ada kata-kata terakhir, Buchanan mengatakan, "segeralah dimulai. Aku siap pergi." Demikian kenang Teresa di malam eksekusi pembunuh berdarah dingin itu.

Selama eksekusi berlangsung, Teresam mengatakan tahanan memandang langsung ke arah para saksi dan petugas pengadilan lainnya. Sementara ruangan tempat para saksi berdiri hening.

"Ini sangat aneh, melihat sesorang memandangmu sementara mereka bersiap akan mati."

Setelah eksekusi berlangsung, dokter akan mengumumkan kematian terpidana. Korden lalu ditutup dan para saksi diantar kembali pulang.

Proses pencarian relawan saksi eksekusi itu tidak mudah. Saat itu sempat jadi headline di koran-koran di AS saat Wendy Kelley, direktur Lapas Arkansas meminta lebih banyak lagi relawan dalam sebuah pertemuan di komunitas.

Negara bagian Arkansas kali itu akan mengeksekusi tujuh terpidana dalam 11 hari. Namun tak cukup orang untuk jadi saksi.

UU Arkansas mengatakan dibutuhkan enam 'warga negara terhormat' untuk tiap eksekusi untuk menyaksikan apakah eksekusi telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang diterapkan oleh undang-undang.

Publisitas itu berhasil. Orang-orang berbondong-bondong jadi para relawan.

Salah satu relawan, Frank Wieland, dari Virginia pernah menjadi empat saksi eksekusi.

Eksekusi terakhir yang ia saksikan terjadi pada 2006 di mana ketika Brandon Hedrick memilih kursi listrik dibanding suntik mati.

"Pria itu tinggal tak jauh dariku. Aku kenal beberpa orang yang mengenalnya juga.

"Mereka mengatakan ia takut jarum," ujar Weiland sambil tertawa.

Ia melihat Hedrick terikat dalam kursinya. Lalu, melihat warden atau algojo menempelkan spons di keningnya agar listrik mengaliri tubuh terpidana lebih cepat.

"Yang Anda ketahui setelahnya adalah, Boom! Dia mati," kenang Weiland.

"Aku melihat tangannya di lengan kursi, dan aku berkata, jika dia merasakan sesuatu dia akan mengepalkan tangannya, tapi tidak. Kebisingan adalah kuncinya," ujar pria yang kini berusia 77 tahun.

"Dia tidak mengejang atau apapun. Jika aku harus dihukum mati aku mungkin akan memilih kursi mati."

"Satu-satunya hal yang memberitahu bahwa ia telah tewas adalah kakinya yang berasap," katanya.

 


Berdampak

Bagaimana pun menjadi saksi eksekusi berdampak bagi kehidupan.

"Aku berkali-kali merekam adegan saat malaikat pencabut nyawa seakan hadir di sampinng terpidana mati," kata Weiland.

"Aku tidak tahu mengapa harus mengulang adegan ia mati di otak ku." "Di malam harinya, aku bermimpi adegan itu lagi."

Sementara itu, Teresa punya cerita lain ketika pertama kali menjadi relawan.

"Aku duduk dalam mobilku yang berhenti di perempatan lampu merah. Aku lantas melihat ke kaca spionku. dan aku bersumpah aku melihat orang yang baru kusaksikan telah mati beberapa saat lalu," kenang Teresa.

"Gambaran kematian pertama kali jadi saksi eksekusi itu masih menghantuiku hingga kini," lanjutnya.

"Tapi dalam pikiranku, orang-orang itu tahu bahwa mereka akan meninggal, tapi tidak dengan korban yang sudah mereka bunuh. Para terpidana mati itu punya kesempatan untuk mengatakan selamat tinggal, jadi aku tak merasa kasihan pada mereka..."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya